Berkenalan dengan Ekonomi Sosialisme

-->

Oleh: Luqman Hakim

Berbicara sistem ekonomi di dunia, maka akan kita temukan salah satu sistem yang juga digunakan oleh sebagian negara, yaitu sistem ekonomi sosialisme. Sistem ini lahir sebagai reaksi atas sitem ekonomi kapitalisme yang berkembang di Barat. Di bawah ini akan dijelaskan secara singkat berbagai hal mengenai sistem ekonomi sosialisme.
 Digagas karl Max

 Sistem ekonomi ini  digagas pertama kali oleh Karl Max.  Tokoh yang dilahirkan pada tahun 1818 di kota Trier, Jerman ini  merasa resah ketika melihat kehidupan yang terjadi pada masanya yang dikuasai oleh paham kapitalisme.  Ia melihat terdapat kesenjangan antara orang miskin dan orang kaya. Kaum borjuis (orang kaya dalam istilah Marx) pada masa itu sangat berperan kuat dalam pemiskinan masyarakat Proletar (orang miskin). Di banyak tempat dijumpai pemiskinan ekonomi oleh orang-orang bermodal (kapital) atas kaum proletar itu sendiri.

Mengenal Pengusung Rasionalisme, Empirisme, dan Kritisisme

-->

Oleh: Luqman Hakim



            Berbicara sejarah peradaban Barat, tidak dapat dipisahkan dengan aliran filsafat yang berkembang di sana. Di antara aliran filsafat yang terkenal sejak zaman modern (yaitu zaman yang dimulai sejak abad 16 M), ialah rasionalisme, empirisme, dan kritisisme. Ketiga aliran filsafat tersebut tentu saja tidak akan lahir tanpa ada pendiri ataupun pengusungnya. Tokoh Barat yang disebut-sebut sebagai pendiri ketiga paham tersebut ialah Rene Descartes, John Locke, dan Immanuel Kant. Di bawah ini penulis paparkan  ulasan singkat mengenai profil serta pemikiran ketiga tokoh tersebut disertai perbandingan pemikiran mereka dengan Islam.


Descartes dan Rasionalisme

Filsuf Barat bernama lengkap Rene Descartes ini dilahirkan di Prancis pada 1596 M. Ia mengambil bidang hukum di perguruan tinggi bernama Universitas Poitiers. Sebagai mahasiswa yang cerdas, Descartes merasa bahwa banyak argumen yang dikemukakan otoritas-otoritas yang dipelajarinya ternyata tidak valid, sehingga ia sering merasa tidak tahu apa yang harus dipercayainya. 

Nabi Muhammad di Mata Orientalis

Oleh: Luqman Hakim
   
Ketika umat Islam membicarakan sosok Nabi Muhammad Saw, maka hampir bisa dipastikan beliau dinilai sebagai sosok yang mulia, maksum, dan contoh terbaik bagi ummat manusia. Beliau juga dinilai sebagai manusia pilihan dan Nabi terbaik sepanjang sejarah. Begitu banyak buku-buku yang telah terbit menceritakan kesempurnaan sosok beliau.

     Akan tetapi, hal itu tidak selalu berlaku bagi para orientalis, yaitu orang-orang (sarjana-sarjana) Barat yang mendalami dunia Timur. Lantas, seperti apakah sosok beliau dalam pandangan para orientalis tersebut? Dan, bagaimana kah sikap yang seharusnya kita ambil?

Penuh Kebencian 

     Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak para orientalis memandang sinis atas Rasulullah Saw. Bahkan, tidak jarang kata-kata pelecehan dan penghinaan keluar dari lisan mereka. 

Pentingnya Kehatia-hatian dalam Bersumpah

Sobat…

      Mugkin kita pernah mendengar ataupun melihat salah seorang teman kita yang sangat mudah mengucapkan “wallaahi”, “billaahi”, “demi Allah”, ataupun kalimat sumpah lainnya. Biasanya, ia melakukan demikian dalam rangka meyakinkan kita. 

      Jikalau nanti kita bertemu dengan seseorang yang demikian maka alangkah baiknya kita mengingatkannya untuk tidak mudah untuk bersumpah. Karena bisa jadi ia akan terperosok pada sumpah yang tidak pada tempatnya. Artinya, sebenarnya ia tidak perlu bersumpah untuk hal-hal yang sebenarnya sepele. 

        Kita juga perlu mengingatkannya apabila sumpah yang ia lakukan tidaklah dalam rangka kebenaran ataupun kemashlahatan. Atau dengan kata lain, sumpahnya sebenarnya mempunyai unsur kedzaliman dan tidak perlu dilakukan sumpah. 

        Pernah suatu ketika Rasulullah menegur sahabat yang bersumpah tidak pada tempatnya. Rasulullah mengingatkan, bahwa sumpah yang ia utarakan berlebih-lebihan dan tidak pada tempatnya, serta tidak memiliki kebaikan.  

Pembelaan Terhadap Fatwa MUI Mengenai Keharaman Pluralisme Agama


Oleh: Luqman Hakim


Judul    : Pluralisme Agama: Haram; Fatwa MUI yang Tegas dan Tidak  Kontroversial  
Penulis  : Dr. Adian Husaini
Penerbit : Pustaka Al-Kautsar
Cetakan : Ketiga, November 2005
Tebal     : 130 + vi Halaman

      Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Juli 2005 tentang keharaman paham Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme (SIPILIS), telah menyebabkan bermunculannya protes serta penolakan atas fatwa ini  dari beberapa pihak. Mereka yang menolak fatwa ini adalah orang-orang yang selama ini mendukung bahkan aktif menyuarakan paham ini seperti Ulil Abshor Abdalla dari Jaringan Islam Liberal (JIL), Johan Effendi dari Indonesian Conference religion and Peace (ICRP), Syafii Anwar dari International Center for Islam and Pluralism (ICIP), dan lain-lain. 

        Di antara alasan penolakan mereka adalah; MUI telah salah dalam memahami pluralisme dengan mengartikannya sebagai paham yang menyamakan semua agama. Syafii Anwar selaku direktur International Center for Islam and Pluralism (ICIP) misalnya, menyatakan bahwa apa yang dilakukan MUI merupakan kesalahan besar karena telah memahami pluralisme sebagai paham yang menyamakan semua agama. Menurutnya, hampir tidak mungkin menyamakan semua agama. Inti pluralisme adalah bagaimana mengembangkan saling menghormati dalam perbedaan di antara agama-agama. (suaramerdeka.com/1/8/05).

       Menanggapi berbagai protes, penentangan, serta penolakan atas fatwa MUI ini, Adian Husaini menuliskan buku berjudul “Pluralisme Agama: Haram; Fatwa MUI yang Tegas dan Tidak Kontroversial” ini. Di dalamnya berisi  penjelasan hakikat pluralisme agama serta berbagai bantahan atas argumen-argumen beberapa pihak yang menolak fatwa MUI.

Islamisasi Ilmu Menurut Al-Attas dan Al-Faruqi

   Oleh: Luqman Hakim
 
 Al-Faruqi                Al-Attas
  Ketika membahas tentang Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer, maka tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan dua tokoh intelektual muslim dunia, yaitu Syed Naquib Al-Attas dan Ismail Raji Al-Faruqi. Keduanya disebut-sebut sebagai penggagas ‘proyek’ ini. Bahkan, keberadaan lembaga International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di Malaysia dan International Institute of Islamic Thought (IIIT) di Amerika Serikat tidak lepas dari ‘campur tangan’ mereka. ISTAC didirikan oleh Al-Attas, dan IIIT didirikan oleh Al-Faruqi. Lantas, bagaimana pandangan mereka terhadap gagasan Islamisasi ilmu? 

Titik Kesamaan 

     Baik Al-Attas maupun Al-Faruqi mempunyai asumsi yang sama ketika membicarakan ilmu. Ketika ditinjau dari sudut epistemologi (cara memperoleh ilmu / sumber ilmu) misalnya, bagi mereka ilmu tidaklah bebas dari nilai. Mereka juga yakin bahwa Tuhan (Allah) adalah sumber asal segala ilmu; dan bahwasanya ilmu adalah asas bagi keimanan dan amal sholeh.

Meraih Kesuksesan dengan “Program Hijrah”

Meraih Kesuksesan dengan “Program Hijrah”
Oleh: Luqman Hakim    

     Dzulhijjah telah berakhir; dan Muharram pun datang menyapa. Tahun kalender Hijriah pun beralih dari 1432 menuju 1433. Hal ini mengingatkan kita pada salah satu peristiwa terpenting dalam sirah Rasulullah, yaitu hijrahnya Nabi dan para sahabat dari Makkah ke Madinah. Apa hikmah yang bisa kita petik dari peristiwa ini?  

Makna Hijrah 

   Berbicara tentang hijrah, maka penting kiranya kita mengetahui makna yang terkandung di dalamnya. Hijrah bisa bermakna berpindah ke sesuatu yang lebih baik. Beralih ke tempat yang lebih baik, keadaan yang lebih baik, perbuatan yang lebih baik dan sesuatu lainnya yang lebih baik. Dan memang itulah yang dilakukan oleh Rasulullah pada 14 abad silam saat melakukan hijrah. 

     Perlu kita ketahui, bahwasanya setelah hijrah Nabi Muhammad SAW melakukan dua tindakan yang berdampak luar biasa. Inilah yang menjadi tonggak kebangkitan dan keberhasilan ummat Islam. Kedua tindakan tersebut ialah membuat program pembenahan, dan mengadakan perubahan

Urgensi Islamisasi Ilmu

Urgensi Islamisasi Ilmu
Oleh: Luqman Hakim  

        Ketika berbicara ilmu, kita akan menyatakan bahwa ia adalah sesuatu yang baik dan tidak bermasalah. Ilmu memiliki faedah yang sangat banyak. Dengan ilmu, memungkinkan bagi kita terlepas dari kebodohan, terangkis dari kemiskinan, dan kita pun juga bisa terselamatkan dari kobaran api neraka. Itulah ilmu. Banyak sekali manfaat yang terkandung di dalamnya. Bahkan dengan ilmu- yaitu terbentuknya tradisi ilmu-, peradaban Islam bisa kembali jaya di dunia. Lantas jika demikian halnya, mengapa ilmu harus diislamkan? Mengapa harus ada Islamisasi ilmu?
Akibat Westernisasi Ilmu 

    Pada dasarnya ilmu memang baik dan tidak mempunyai masalah. Ilmu mempunyai manfaat yang sangat besar bagi kehidupan manusia. Akan tetapi, kita tidak bisa menampik kenyataan bahwa westernisasi (pem-Baratan) telah menyentuh segala bidang, termasuk dalam bidang disiplin keilmuan. Dampak yang dihasilkan tidak bisa dikatakan sepele, yaitu konsep ilmu kemudian menjadi rancu. Westernisasi telah menjadikan ilmu problematis. Sekalipun westernisasi telah menghasilkan ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, namun, tidak dapat dinafikan juga bahwa westernisasi ilmu telah menghasilkan ilmu yang telah merusak, khususnya spiritual kehidupan manusia. 

      Hal itu dikarenakan, epistemologi (cara memperoleh ilmu / sumber ilmu) Barat modern berangkat dari praduga-praduga, atau prasangka-prasangka, atau usaha-usaha skeptis (keraguan) tanpa didasarkan pada wahyu. Dengan begitu, ilmu pengetahuan Barat itu menghasilkan sains (ilmu pengetahuan) yang hampa akan nilai-nilai spiritual. Dan akhirnya, seperti disimpulkan Al-Attas, epistemologi Barat tidak dapat mencapai kebenaran [lihat: Syed Muhammad Naquib Al-Attas. 1995. Prolegomena to the Metaphysic of Islam: an Exposition of the Fundamental Elements of the World View of Islam. ISTAC. Kuala Lumpur. Hal. 117. Lihat juga: QS.10:36] 

Sikap Kita terhadap Hermeneutika

Sikap Kita terhadap Hermeneutika
Oleh: Luqman Hakim

       Akhir-akhir ini, istilah ‘hermeneutika’ ramai dibicarakan, terutama di kalangan akademisi di berbagai kampus Islam. Apalagi, metode tafsir ini sekarang mulai menjadi mata kuliah wajib dalam jurusan tafsir dan hadits di beberapa perguruan tinggi Islam di Indonesia. Padahal, ilmu penafsiran yang berasal dari tradisi di luar Islam ini dulunya tidak dikenal oleh para akademisi muslim. Lalu, bagaimana sikap kita terhadap konsep asing ini?

Cocok untuk Bible

     Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneuin yang berarti ‘menafsirkan’. Istilah ini merujuk kepada seorang tokoh mitologis dalam mitologi Yunani bernama hermes (Mercurius). Hermes dikenal sebagai dewa yang bertugas menyampaikan pesan-pesan Dewa kepada manusia. 

     Dari tradisi Yunani, hermeneutika kemudian berkembang menjadi metodologi penafsiran Bible, yang di kemudian hari dikembangkan oleh para teolog dan filosof di Barat sebagai metode penafsiran secara umum dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora. 

Pentingnya Mengislamkan Ilmu Pengetahuan




  Oleh: Luqman Hakim
                                   

Judul : Krisis Epistemologi dan Islamisasi Ilmu


Penulis : Adnin Armas 

Penerbit : CIOS ISID, Ponorogo 

Cetakan : Pertama, Agustus 2007 

Tebal : 29+ xii halaman 



    Mengislamkan ilmu pengetahuan? Mungkin pertanyaan itu yang akan muncul ketika melihat judul di atas. Munculnya pertanyaan semacam itu adalah wajar, karena wacana ini memang belum lama didengungkan oleh beberapa pakar Islam seperti Prof. syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prof. Ismail Raji Al-Faruqi, dan lain-lain. Wacana itu timbul karena didapati kenyataan bahwa adanya westernisasi (pem-Baratan) ternyata membawa dampak yang tidak bisa dikatakan sepele, yaitu konsep ilmu menjadi rancu. Westernisasi telah menjadikan ilmu problematis. Sekalipun westernisasi telah menghasilkan ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, namun, tidak dapat dinafikan juga bahwa westernisasi ilmu telah menghasilkan ilmu yang telah merusak, khususnya spiritual kehidupan manusia. 

     Dalam buku berjudul “ Krisis Epistemologi dan Islamisasi ilmu” ini, Adnin Armas dengan rinci dan teliti memaparkan bahwasanya terdapat kerancuan (confusion) dalam konsep ilmu, jikalau epistemologi (cara memperoleh ilmu / sumber ilmu) Barat digunakan (h.1). Hal itu dikarenakan epistemologi Barat berangkat dari praduga-praduga, atau prasangka-prasangka, atau usaha-usaha skeptis (keraguan) tanpa didasarkan pada wahyu. Dengan begitu, ilmu pengetahuan Barat itu menghasilkan sains (ilmu pengetahuan) yang hampa akan nilai-nilai spiritual. Dan akhirnya, seperti disimpulkan Al-Attas, epistemologi Barat tidak dapat mencapai kebenaran (h.vii). 

Mewaspadai Serangan Hermeneutika dalam Penafsiran Al-Quran

Oleh: Luqman Hakim


 Judul : Hermeneutika dan Tafsir Al-quran 

Penulis : Adian Husaini dan Abdurrahman A-Baghdadi

Penerbit : Gema Insani, Jakarta 

Cetakan : Kedua, Mei 2008 

Tebal : iv+ 89 halaman 





        Hermeneutika adalah sebuah kata yang akhir-akhir ini ramai dibicarakan, terutama di kalangan akademisi dan perguruan tinggi Islam. Kalau dilihat dari bahasa, istilah hermeneutika terdengar asing. Dan memang, hermeneutika lahir di Barat, tepatnya di Yunani. Hermeneutika yang bermakna tafsir ini awalnya digunakan di Yunani, lalu kemudian berkembang sebagai metodologi penafsiran Bibel oleh orang-orang Kristen di Barat.  

      Adalah wajar, menurut beberapa pakar, ketika hermeneutika diaplikasikan dalam menafsirkan bible. Akan tetapi ketika diaplikasikan ke dalam Al-Quran, hermeunetika memberikan masalah baru tersendiri. Hermeneutika memiliki perbedaan yang sangat besar dan mendasar dengan metodologi tafsir yang sudah mengakar kuat dalam tubuh umat Islam dari dulu sampai sekarang. 

      Dalam buku berjudul “Hermeneutika dan tafsir Al-Quran” ini, dijelaskan tentang seluk-beluk hermeneutika, dampaknya, dan juga bagaimana cara menafsirkan Al-Quran yang benar menurut ulama-ulama Islam.