Kami Mendengar dan Kami Taat

Kami Mendengar dan Kami Taat
-->
             Alhamdulillah sobat...saya bisa melanjutkan terjemahan kitab Silsilatu Adab dengan sub judul 'Adab kepada Allah". Saya berharap, saya tetap bisa melanjutkan kegiatan ini walau terseok-seok. Kali ini saya menerjemahkan judul Sami'naa Waatho'na. Kami Mendengar, dan Kami Taat.  
     O ya, sekedar informasi. Sekarang, yaitu ketika menulis terjemahan ini, aku sedang berada di Gresik, tepatnya di daerah Panceng.
   Di manapun aku berada, aku berharap semoga bisa istiqomah menerjemahkan kitab ini. Setidaknya, cita-citaku untuk menjadi penerjemah tidak luntur. Dan setidaknya, aku melakukan upaya untuk mewujudkan mimpiku ini, walaupun dari yang terkecil.
   Oke, di bawah ini hasil terjemahannya. Semoga bermanfaat. :-)

Kami mendengar dan kami Taat

            Ketika turun firman Allah, “Milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Jika kamu nyatakan apa yang ada dalam hatimu atau kamu sembunyikan, niscaya Allah memperhitungkannya (tentang perbuatan itu)bagimu. Dia mengampuni siapa yang Dia kehendaki. Allah maha kuasa atas segala sesuatu (QS. Al-Baqoroh: 284), maka para sahabat bersegera menuu Rasulullah.

Kritik atas Teologi Kesetaraan Gender Riffat Hassan (2)

-->
Mau baca bagian 1? Klik sini

Oleh: Luqman Hakim

C.    Implikasi Teologi Kesetaraan Gender Riffat Hassan

1.      Penolakan terhadap Hadits Shahih
Dalam membangun epistemologi teologi kesetaraan gender, Riffat Hassan menjadikan al-Quran sebagai pijakan utama, namun dalam beberapa kasus menolak hadits, jika hadits tersebut menurutnya tidak sejalan dengan semangat al-Quran. Ia memposisikan hadits sebagai sumber yang relatif dan dapat diperdebatkan (debatable). Dengan kata lain, hadits tidak begitu saja digunakan tanpa nyaris kritik. Sebab menurutnya, hadits tidak ada jaminan mengenai orisinalitasnya, termasuk hadits-hadits yang tercantum dalam kitab hadits Imam Bukhari Muslim di mana semua ulama sepakat atas keshahihan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh keduanya[1]. Padahal, sebagaimana dikatakan Imam al-Ghazali, jika menafsirkan al-Quran dengan pendekatan linguistik dsb. semata-mata, tanpa menghiraukan keterangan hadits dan riwayat yang shahih, maka hal ini dilarang dan dikecam.[2]

Kritik atas Teologi Kesetaraan Gender Riffat Hassan (1)

-->
*Tulisan ini juga dimuat di inisiasi.net  
 Mau baca bagian 2? Klik sini

Oleh: Luqman Hakim


A.    Pendahuluan
                       
Akhir-akhir ini, wacana kesetaraan gender di Indonesia telah menjadi program sosial yang disosialisakan melalui ranah politik dan akademik. Dalam ranah politik, sosialisasi kesetaraan gender telah dilakukan melalui lembaga pemerintahan seperti tim Pengarusutamaan Jender DEPAG, Departemen Pemberdayaan Perempuan, dan juga melalui LSM-LSM yang kian menjamur. Adapun dalam ranah akademik, telah didirikan institusi-institusi Pusat Studi Wanita (PSW) di berbagai perguruan tinggi yang pada tahun 2005 telah mencapai 132 di berbagai Universitas di Indonesia[1]. Buku-buku berbahasa Indonesia yang membahas tentang kesetaraan gender juga semakin banyak diterbitkan[2].
            Pada awalnya wacana kesetaraan gender beredar di negara-negara Barat dikarenakan perempuan di sana diperlakukan diskriminatif[3]. Lalu pada dekade terakhir (sekitar tahun 1970-an) wacana kesetaraan gender ikut melanda  dunia muslim[4]. Sejak saat itu, isu kesetaraan gender menjadi ramai diperbincangkan di berbagai negara muslim, termasuk Indonesia[5].