Lemah Lembut dalam Memberi Nasehat

Lemah Lembut dalam Memberi Nasehat
 Mu’awiyah bin Al-Hikam As-Silmi RA pergi ke kota Madinah untuk mempelajari adab-adab dalam Islam. Di sana dia bertemu Rasulullah Saw.

Tatkala tiba waktu shalat, ia masuk masjid untuk menunaikan shalat (secara berjama’ah). Saat shalat sedang berlangsung, seorang laki-laki bersin dan berkata, “Al-Hamdulillah”. Mu’awiyah pun berkata kepadanya dengan suara yang keras, “Yarhamukallah”. 

Ketika Mu’awiyah berbicara dalam shalat, para sahabat memperingatkannya agar diam, tidak berbicara dalam shalat. Usai shalat, nabi Saw bersabda, “Siapa tadi yang berbicara?” Para Jama’ah shalat menjawab, “Orang Arab Badui ini”.

Nabi Saw pun memanggilnya dan bersabda kepadanya, “Sesungguhnya bacaan dalam shalat iu adalah al-Quran dan dzikir kepada Allah. Jika kamu sedang shalat, maka lakukanlah itu”.

Mu’awiyah berkata, “Saya tidak mendapati seorang pengajar yang lebih lemah lembut daripada Rasulullah Saw”. (HR. Abu Daud)



NB: terjemahan dari kitab silsilatul adab pada  bab “Adab dalam Memberi Nasehat ” dengan sub judul  “Rifqun Fin Nasiihah”

 Panceng, Gresik, 7 Maret 2014

Seorang Arab Badui di Masjid

Seorang Arab Badui di Masjid
Pada suatu hari, Rasulullah Saw duduk bersama para sahabat di masjid. Tiba-tiba datang seorang arab badui berdiri dan kencing di dalamnya. 

Tatkala para sahabat melihat hal ini, mereka bersegera untuk mencegahnya. Nabi Saw memberi isyarat kepada mereka seraya bersabda, “Biarkan ia sampai menyelesaikan kencingnya”.

Para sahabat meninggalkan laki-laki itu sampai menyelesaikan hajatnya. Lalu Nabi Saw memanggil laki-laki itu.

Tatkala laki-laki itu berdiri di depan nabi Saw, beliau bersabda, “Sesungguhnya masjid bukanlah tempat membuang air kecil maupun air besar. Masjid ini adalah tempat berdzikir, shalat, dan membaca al-Quran”.
Kemudian Rasulullah Saw menoleh kepada para sahabat dan bersabda, “Tuangkanlah di atas air kencing itu dengan satu  timba atau satu ember air. Sesungguhnya kalian diutus untuk mempermudah, bukan untuk mempersulit” (Muttafaqun ‘Alaih)



NB: terjemahan dari kitab silsilatul adab pada  bab “Adab di Masjid” dengan sub judul  “A’raabii fil Masjid”.


Panceng, Gresik, 1 Maret 2014

Adab-adab dalam Memberi Nasehat

Adab-adab dalam Memberi Nasehat
Nabi Saw bersabda, “Agama adalah sehat”. Para sahabat bertanya, “untuk siapa wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Untuk Allah, Rasul-Nya, kepada para pemimpin kaum muslimin, dan umat mereka” (Muttafaqun ‘Alaih).

Adab-adab nasihat jumlahnya banyak. Di antaranya ialah disampaikan dengan lemah lembut…Dan hendaknya nasehat disampaikan dengan cara yang baik. Kebenaran itu pahit, yang akan menjadikannya manis adalah nasehat yang baik.


Nasehat adalah jalan para Rasul, nabi, dan orang-orang shaleh di setiap zaman dan tempat. Setiap nabi memberi nasehat kepada kaumnya, yaitu menjelaskan kepada jalan yang lurus. Dan Allah menjadikan nasehat sebagai jalan untuk orang-orang shaleh setelah nabi.  

 Allah SWT berfirman, “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS. Ali Imron: 104)

Dengan nasehat; umat akan memiliki derajat yang tinggi, kerusakan menjadi sedikit, akhlaq yang terpuji tersebar, dan masyarakat menjadi mulia.



NB: terjemahan dari kitab silsilatul adab pada  bab “Adab dalam member nasehat” dengan sub judul  “Tamhiidun”.

Panceng, Gresik, 28 Februari 2014

Warisan Nabi

Warisan Nabi
 Abu Hurairah RA menyaksikan banyak manusia  telah sibuk bekerja dalam jual beli dan perdagangan. Mereka meninggalkan halaqoh ilmu di masjid. Hal itu terjadi setelah wafatnya Rasulullah Saw. Ia pun merasa sedih dengan kesedihan yang mendalam.
 
Pada suatu hari, Abu Hurairah RA pergi ke pasar. Ia berseru dengan meninggikan suara setinggi-tingginya, “Wahai penduduk pasar, warisan Rasululllah Saw sedang dibagi-bagi sedangkan kalian masih di sini? Tidaklah kalian pergi dan mengambil bagian kalian?”

Mereka bertanya, “di mana?”

Abu Hirairah menjawab, “Di masjid”.

Orang-orang pun bersegera menuju masjid, sedangkan Abu Hurairah berdiri menunggu mereka.

Tidak lama kemudian, orang-orang kembali dan berkata, “Wahai Abu Hurairah, sungguh kamii telah mendatangi masjid. Tatkala kami masuk ke dalamnya kami tidak melihat sesuatu apapun yang sedang dibagi-bagikan”.

Ia kemudian bertanya kepada mereka, “Apa yang kalian dapati di masjid?”

Mereka menjawab, “Kami mendapati beberapa orang sedang shalat, sebagian lainnya membaca al-Quran, dan sebagian lainnya saling mengingatkan tentang perkara halal dan haram”.

Abu Hurairah berkata, “Itulah warisan nabi Muhammad Saw”. (HR. Ath-Thabrani)




NB: terjemahan dari kitab silsilatul adab pada  bab “Adab di Masjid” dengan sub judul  “Miyraatsun Nabi”.

Panceng, Gresik, 28 Februari 2014


Berdzikir kepada Allah

Berdzikir kepada Allah

Muawiyah bin Abu Sufyan memasuki masjid. Ia mendapati banyak orang-orang duduk dalam bentuk halaqoh. Ia kemudian bertanya kepada mereka. Apa yang membuat kalian duduk? Mereka menjawab, “Kami duduk untuk berdzikir kepada Allah”. Ia berkata lagi kepada mereka, “Allah, Apakah kalian tidak duduk melainkan untuk tujuan itu?” Mereka menjawab, “Demi Allah. Tidaklah kami duduk melainkan untuk hal itu”.
 
Mu’awiyah berkata, “Sesungguhnya saya tidak meminta kalian untuk bersumpah. Akan tetapi karena pada suatu hari Rasulullah Saw memasuki masjid. Beliau mendapati para sahabat beliau berkumpul sembari duduk berdzikir kepada Allah. 

Beliau bersabda kepada mereka, ‘Apa yang membuat kalian duduk? Mereka menjawab, ‘Kami duduk untuk berdzikir kepada Allah dan memuji-Nya karena telah menunjukkan kami kepada jalan Islam’. 

Rasulullah Saw bersabda kembali, ‘Allah, Apakah kalian tidak duduk melainkan untuk tujuan itu?’  Mereka menjawab, ‘Demi Allah, tidaklah kami duduk melainkan untuk tujuan itu’. Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya saya tidak meminta kalian untuk bersumpah. Akan tetapi Jibril telah mendatangiku dan mengabarkanku bahwa Allah membanggakan kalian di hadapan para malaikat”. (HR. Muslim)

Dari cerita ini bisa disimpulkan bahwa Allah membanggakan seorang hamba yang duduk di masjid untuk berdzikir kepada Allah dan mempelajari perkara-perkara agama.



NB: terjemahan dari kitab silsilatul adab pada  bab “Adab di Masjid” dengan sub judul  “Dzikrullaahi”.

Panceng, Gresik, 28 Februari 2014