Tuma’ninah dalam Shalat

Tuma’ninah  dalam Shalat
Seorang laki-laki arab badui memasuki masjid. Ia kemudian shalat dengan shalat yang cepat. Dia tidak tuma’ninah dalam rukuk dan sujudnya. Nabi Saw melihatnya dan bersabda kepadanya, “Shalatlah karena kamu belum shalat”.
 
Laki-laki itu kemudian mengulangi shalatnya yang kedua kali. Lalu ia menemui nabi. Nabi bersabda kepadanya, “Shalatlah karena kamu belum shalat”.


Laki-laki itu pun mengulangi lagi shalatnya yang ketiga kali. Dan nabi pun mengulangi lagi apa yang sebelumnya beliau sabdakan kepada orang arab badui itu. 


Laki-laki itu berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah saya tidak bisa shalat yang lebi baik daripada apa yang telah saya lakukan”.


Nabi Saw kemudian mengajarinya tata cara shalat dan bersabda, “Jika kamu rukuk maka rukuklah dengan tuma’ninah; jika kamu sujud, maka sujudlah dengan tuma’ninah. Lakukan sepert itu dalam seluruh shalatmu”. (Muttafaqun ‘alaih)





NB: terjemahan dari kitab silsilatul adab pada  bab “Adab dalam Memberi Nasehat ” dengan sub judul  Ash-Sholaatu Al-Muthmainnatu”

 Panceng, Gresik, 11 April 2014


Nasehat yang Pahit

Nasehat yang Pahit

Salah seorang ulama menemui amirul mukminin Sulaiman bin Abdul Malik. Sulaiman berkata kepadanya, “Silahkan berbicara”.


Ia berkata, “Sesungguhnya saya akan berbicara dengan keras dan memberimu nasehat dengan nasehat yang pahit. Ambillah, karena sesungguhnya di belakangnya terdapat apa yang kamu sukai jika kamu menerimanya.


Sulaiman berkata, “Berbicaralah, sesungguhnya kami akan lapang dada menerimanya”.


Ia pun menasehati sang khalifah dengan nasehat yang keras. Di antaranya, “Wahai amirul mukminin sekempulan laki-laki berada di sekelilingimu. Mereka menukar dunia dengan agama mereka, dan juga menukar ridhamu dengan murka Tuhan mereka. Mereka takut kepadamu tapi tidak takut kepada Allah. Mereka melalaikan amanah mereka dan berbuat buruk kepada manusia. Dan engkau bertanggung jawab atas perbuatan mereka, sedangkan mereka tidak bertanggung jawab atas apa yang kamu lakukan. Maka perintahkanlah mereka untuk berhenti mendzalimi manusia”.


Sulaiman berkata, “Sesungguhnya kamu telah menghunuskan lisanmu yang lebih tajam dari pedang. Ia menjawab, “Iya benar. Akan tetapi hal itu untuk menasehatimu”.





NB: terjemahan dari kitab silsilatul adab pada  bab “Adab dalam Memberi Nasehat ” dengan sub judul  An-Nasiihatu Al-Murratu”

 Panceng, Gresik, 11 April 2014


Nasehat Hudaibiyah

Nasehat Hudaibiyah
 Pada tahun keenam dari tahun hijrah, Rasulullah Saw dan para sahabat pergi ke Mekah guna melaksanakan umrah. Akan tetapi kaum musyrikin melarang mereka dan membat perjanjian hudaiabiyah.


Di antara isi perjanjian hudaibiyah itu adalah kaum muslimin kembali ke Madinah untuk tahun itu dan baru boleh mengadakan umrah pada tahun berikutnya.


Setelah itu, nabi Saw memerintahkan para sahabat untuk mencukur rambutnya dan menyembelih unta-unta mereka. Akan tetapi banyak dari mereka tidak setuju atas hasil perjanjian ini dan berlambat-lambat dalam melaksanakan perintah nabi Saw. 


Nabi pun tidak menyukai hal ini dan menemui Ummul Mukminin Ummu Salamah lalu bersabda, “Wahai Ummu Salamah! Apa yang terjadi dengan orang-orang. Saya memerintahkan mereka, tapi mereka tidak melaksanakan”.


Ummu Salamah pun memberikan arahan agar nabi tidak perlu berbicara dengan seorang pun, lalu menyembelih, dan bercukur di depan para sahabat.
Ketika nabi melakukan itu, para sahabat pun mencukur rambut mereka dan menyembelih unta mereka. (HR. Bukhari)





NB: terjemahan dari kitab silsilatul adab pada  bab “Adab dalam Memberi Nasehat ” dengan sub judul  Nasiihatu Al-Hudaibiyatu”

 Panceng, Gresik, 11 April 2014


Nasehat dan Ilmu

Nasehat dan Ilmu
 
Yunus An-Nahawi pergi menemui gurunya Al-Kholil bin Ahmad Al-Farahidi. Ia mengeluhkan sulitnya belajar ilmu ‘Arudh (ilmu yang berhubungan dengan syair/puisi).

Al-Kholil berfikir sebentar. Ia kemudian mengetahui bahwa muridnya ini tidak cocok belajar ilmu ‘Arudh. Ia ingin menasehatinya agar meninggalkan ilmu ini dan beralih kepada ilmu yang lain.

Ia kemudian bertanya kepada muridnya mengenai ilmu ‘Arudh dengan maksud untuk menasehatinya. Ia berkata, “Apa wazan dari syair ini:

‘Jika kamu tidak mampu mengenai suatu perkara, maka tinggalkanlah
Dan beralihlah kepada apa yang kamu mampu”


Yunus kemudian memahami bahwa gurunya sedang menasehatinya melalui pertanyaan itu. Ia kemudian meninggalkan ilmu ‘Arudh dan mempelajari ilmu nahwu sampai dikenal sebagai ulama’ dalam bidang nahwu.





NB: terjemahan dari kitab silsilatul adab pada  bab “Adab dalam Memberi Nasehat ” dengan sub judul  Nasiihatun fil ‘Ilmi”

 Panceng, Gresik, 11 April 2014


Nasehat Anak Kecil

Nasehat Anak Kecil
Ketika Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi khalifah, beberapa rombongan datang menemuinya untuk memberi ucapan selamat. Di antara rombongan itu adalah rombongan dari Hijaz. Mereka meminta seorang anak kecil berumur 11 tahun untuk menjadi juru bicara.

Umar berkata, “Hendaknya yang berbicara adalah yang lebi tua dari kamu”.

Anak itu berkata, “Semoga Allah memberimu kedamaian wahai amirul mukminin. Sesungguhnya seseorang dinilai dari hati dan lisannya. Jika Allah menganugerahi seorang hamba lisan yang bisa berbicara dan hati yang terjaga maka dia berhak untuk berbicara. Orang yang mendengar kata-katanya akan mengetahui keutamaan yang dimilikinya. Sesungguhnya jikalau sebuah perkara diserahkan berdasarkan umur, maka banyak orang yang lebih berhak menjadi khalifah dibandingkan engkau”.

Umar berkata, “Kamu benar, katakanlah apa yang ingin kamu katakan”.

Anak itu kemudian membei ucapan selamat dengan lemah lembut, kemudian memberikan nasehat.
Umar  merasa sangat takjub atas nasehat anak itu dengan ketakjuban yang yang luar biasa.







NB: terjemahan dari kitab silsilatul adab pada  bab “Adab dalam Memberi Nasehat ” dengan sub judul  Nasiihatu Ghulaamin”

 Panceng, Gresik, 11 April 2014