Ketika Nabi Berlomba Lari dengan Aisyah

Ketika Nabi Berlomba Lari dengan Aisyah

Suatu ketika nabi Saw dan istrinya, Aisyah RA terlambat dari rombongan kaum muslimin. Nabi kemudian mengajak Aisyah berlomba lari dengannya. Karena badannya ringan, Aisyah menang.
Beberapa waktu kemudian, berat badan Aisyah RA bertambah dan tak bisa berlari kencang seperti sebelumnya. Nabi Saw mengajaknya berlomba lari lagi. Kali ini, Aisyah RA yang  kalah.
Nabi Saw kemudian menghibur Aisyah RA dengan mengingatkan bahwa dia juga menang pada perlombaan sebelumnya. Beliau  bersabda, “Kemenanganku ini untuk kemenanganmu  yang dulu” (HR. Abu Daud dan Nasai)
Apa yang dilakukan nabi Saw menjadikan Aisyah tidak merasa sedih dan kesal karena dia kalah dalam perlombaan. Ini merupakan cermin akhlak beliau dalam berolahraga yang patut dicontoh.
Ketika  kalah pada perlombaan yang pertama, nabi Saw tidak merasa marah dan sedih. Beliau menunggu hingga datang waktu yang tepat untuk mengalahkan Aisyah. Dan saat  berhasil menang dalam perlombaan yang kedua, beliau tidak terpedaya dan lengah seperti sebagian manusia.


NB: terjemahan dari kitab silsilatul adab pada  bab “Adab dalam Bermain dan Bersenda gurau ” dengan sub judul  “Hadzihi bi tilka”

Surabaya, 4 September 2014

Permainan dalam Islam

Permainan dalam Islam
Suatu hari terdapat beberapa kaum muslimin yang berasal dari Habasya (Etiopia) nampak tengah bermain-main di masjid. Dalam permainan itu mereka menggunakan sarung belati dan baju besi. Umar RA kemudian masuk masjid. Melihat kejadian itu, Ia pun mengambil segenggam kerikil lalu melemparkannya ke arah kerumunan itu, hingga mereka buyar dan berhenti bermain. Nabi Saw kemudian melarang Umar dengan bersabda, “Biarkan wahai Umar”.

Pada waktu yang lain, tepatnya pada hari raya Idul Fitri, kembali nampak beberapa orang asal Habasyah tengah menunjukkan kebolehan mereka dalam suatu permainan. Nabi Saw kemudian mengajak Aisyah RA menontonnya. Aisyah pun berdiri di belakang beliau untuk menonton pertunjukan tersebut, sampai ia merasa bosan. (HR. Al-Bukhori)

Demikianlah pandangan syari’at Islam terhadap permainan-permainan yang  dipandang bisa memberikan manfaat. Agama mendorong untuk melakukannya, karena bisa memberikan faedah bagi pelakunya berupa kebaikan dan dapat menjauhkan seseorang dari rasa bosan dan putus asa. Akan tetapi, hendaknya seseorang melakukan permainan dan hobinya seperlunya saja dan tidak berlebih-lebihan.





NB: terjemahan dari kitab silsilatul adab pada  bab “Adab dalam Bermain dan Bersenda gurau ” dengan sub judul  “Al-Lahwu bil Hiraabi”




Surabaya, 3 September 2014

Akhlaq Seorang Atlet

Akhlaq Seorang Atlet
Para sahabat nabi mengetahui bahwa perlombaan lari kuda dan unta akan segera diadakan. Mereka pun berlatih dengan kuda dan unta yang dimiliki di sebuah tanah lapang yang dijadikan tempat perlombaan.

Nabi Saw sendiri memiliki seekor unta yang tak pernah terkalahkan. Namanya Al-‘Adhba’. Tiba-tiba datang seorang arab badui mengajak tanding nabi. Mereka berdua pun bertanding dan ternyata Al-‘Adhba’  mampu dikalahkan. 

Melihat hal itu, para sahabat merasa sedih. Mereka berkata keheranan, “Hah, Al-‘Adhba’ dikalahkan”.

Kontan Rasul Saw bersabda, “Merupakan hak bagi Allah meninggikan sesuatu, kemudian suatu hari pasti merendahkannya” (Muttafaqun ‘Alaih)

Seperti inilah kehidupan dunia. Segala sesuatu yang hidup tumbuh dan berlalu dalam beberapa tahapan. Masa muda adalah tahapan yang penuh dengan kekuatan dan ketekunan sehingga mudah memperoleh kemenangan. Kemudian datang tahapan berikutnya yaitu masa tua, tahapan yang penuh dengan kelemahan sehingga sering mengalami kekalahan.

Maka dari itu, seseorang yang masih dalam masa muda hendaknya tidak tertipu dengan kekuatan yang sedang dimiliki. Hendaknya dia meyakini bahwa setelah masa muda akan datang masa tua yang penuh dengan kelemahan, di mana ia tidak akan mampu mengerjakan pekerjaan sebagaimana masih muda.



NB: terjemahan dari kitab silsilatul adab pada  bab “Adab dalam Bermain dan Bersenda gurau ” dengan sub judul  “Akhlaaqul Mutasaabiq”

Surabaya, 1 September 2014