Adab saat Kembali dari Perjalanan

Adab saat Kembali dari Perjalanan
Nabi Saw sedang melakukan perjalanan bersama para sahabat beliau. Salah satu dari mereka adalah Jabir bin Abdillah RA.

Di tengah perjalanan, nabi Saw melihat unta yang dikendarai Jabir terlihat lemah dan tidak kuat membawa barang-barangnya.  Nabi Saw pun menawarkan kepada Jabir agar menjual untanya kepada beliau.

 Jabir menyetujui hal itu dan sepakat dengan harga yang ditawarkan. Akan tetapi nabi Saw meminta agar pembayaran dilakukan setelah kembali ke Madinah. Jabir pun mengiyakan.

Tatkala nabi Saw dan para sahabat kembali ke Madinah, nabi Saw memanggil Jabir dan mengajarkannya adab-adab ketika kembali dari safar.

Nabi bersabda, “Tinggalkan untamu, masuklah ke dalam masjid dan shalatlah dua rakaat”.

Jabir kemudian meninggalkan untanya, masuk masjid, dan shalat dua rakaat. Usai shalat, dia lalu keluar dari masjid. Di sana nabi Saw menyerahkan uang kepada Jabir, dan Jabir memberikan untanya kepada Nabi Saw. (Muttafaqun ‘Alaih).


   

 NB: terjemahan dari kitab silsilatul adab pada  bab “Adab dalam Perjalanan ” dengan sub judul  “Tahiyyatul ‘awdati”


Surabaya, 11 Desember  2016


Adab dalam Perjalanan

Adab dalam Perjalanan

Dengan melakukan perjalanan, seseorang bisa mengenal banyak orang yang berasal dari berbagai bangsa dan negara, memperoleh banyak informasi, mendapatkan teman baru, dan memperoleh petunjuk tentang akhlak dan tingkah laku mereka.

Seorang laki-laki telah datang kepada Umar bin Khattab RA. Dia memuji seorang laki-laki.

Umar RA bertanya kepadanya, “Apakah kamu sudah melakukan perjalanan bersamanya sehingga kamu mengetahui kebaikan akhlaknya?”

Dia menjawab, “Tidak”.

Umar berkata, “Berarti kamu belum mengenalnya”.

Dalam melakukan perjalanan, seorang musafir melihat keajaiban alam semesta dan meyakini keagungan ciptaan-Nya. Dia mentadabburi makhluk dan kekuasaan penciptanya.

Perjalanan yang dilakukan dalam rangka melakukan ketaatan kepada Allah adalah ibadah. Seorang muslim akan memperoleh kebaikan dengannya dan derajatnya di sisi Allah akan terangkat.

Bagi seorang muslim yang hendak melakukan perjalanan, hendaknya melakukan melakukan beberapa hal seperti shalat istikharah, berwasiat kepada keluarga dan teman-temannya, serta berdzikir kepada Allah.




NB: terjemahan dari kitab silsilatul adab pada  bab “Adab dalam Perjalanan ” dengan sub judul  “Tamhiidun”


Surabaya, 11 Desember  2016

Sumber Ilmu dalam Islam

Sumber Ilmu dalam Islam
Beberapa waktu lalu, saya berdiskusi dengan sahabat-sahabat saya tentang sumber ilmu. Diskusi tersebut bermula dari seorang sahabat (sahabat pertama) yang menyampaikan bahwa sumber kebenaran (baca: ilmu) ada empat, yaitu panca indera, akal, intuisi, dan wahyu. Lalu sahabat yang lain (sahabat kedua) menanggapi bahwa sumber kebenaran adalah al-Quran, hadits, ijma’, dan qiyas.

Setelah ikut terlibat dalam diskusi tersebut, saya kemudian berusaha menelusuri pembahasan tersebut sembari bertanya kepada orang yang saya anggap mumpuni dalam bidang ini. Dari hasil penelusuran dan proses bertanya tersebut saya kemudian berusaha merangkumnya dalam coretan kecil ini.

Apa yang disampaikan oleh sahabat yang pertama penjelasannya ada dalam sebuah kitab yang ditulis seorang ulama dari kalangan Mazhab Hanafi bernama Imam An-Nasafi (wafat tahun  berjudul ‘Aqaid” yang kemudian disyarah oleh muridnya dengan judul: “Syarhu al-‘Aqoid an-Nasafiyah”.

Imam  An-Nasafi, seorang ulama yang menguasai berbagai disiplin keilmuan ini menuliskan ,
وأسباب العلم للخلق ثلاثة: الحواس السليمة, و الخبر الصادق, والعقل"
"Sebab-sebab ilmu bagi makhluk ada 3, yaitu panca indera yang sehat, khabar shadiq (informasi yang benar), dan al-‘aql (akal)". (Lihat: Syarhu al-‘Aqoid an-Nasafiyah, hal. 69-71).

Jadi untuk makhluk (baca: manusia) secara umum, sebab-sebab diperoleh ilmu ilmu ada 3, yaitu panca indera, khabar Shadiq (informasi yang benar), dan akal. Namun untuk orang-orang tertentu, Allah karuniakan saluran ilmu yang lain, yaitu ilham/intuisi (hal. 96-97), sehingga totalnya menjadi empat.

Landasan dari hal ini tertera dalam al-Quran. Dalam surat an-Nahl ayat 78, misalnya, Allah berfirman, “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”.

Begitu juga dengan firman-Nya dalam surat al-A’raf ayat 179, “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya”.

Berikut ini penjelasan mengenai empat sumber tersebut.

Pertama adalah panca indera. Panca indera yang dimaksud adalah persepsi indrawi yang berjumlah lima; yaitu mendengar, melihat, merasa, mencium (membau), dan menyentuh.

Kedua adalah khabar shadiq. Khabar shadiq bermakna informasi yang benar. Informasi yang dimaksud adalah informasi yang berasal dari Allah, baik berupa kitab suci (al-Quran)  ataupun sunnah nabi.

Ketiga adalah akal. Proses akal mencakup nalar dan alur pikir. Dengan nalar dan alur pikir ini kita bisa menyatakan pendapat, berargumentasi, membuat kesimpulan, dan lain-lain.

Keempat, yang terakhir, adalah ilham (intuisi/intuition). Ia hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu, seperti para nabi dan orang-orang shalih. Seperti misalnya nabi Ya’qub yang berkata, “Sesungguhnya aku mengetahui dari Allah apa yang kalian tidak mengetahuinya” (QS. Yusuf: 96). Atau perkataan nabi Muhammad, “Tuhan saya telah mengilhamkan kepada saya” (Syarhu al-‘Aqoid an-Nasafiyah, hal. 97).

Begitu juga Umar bin Khattab. Dia adalah orang shaleh yang Allah karuniakan Ilham. Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari Bani Israil ada yang diberikan ilham walaupun mereka bukan Nabi, jika salah seorang dari umatku mendapatkannya, maka Umar lah orangnya ” (HR. Bukhari).

Baik, kita sudah membahas tentang sumber ilmu menurut sahabat saya yang pertama, yaitu panca indera, akal, intuisi, dan khabar shadiq.

Lantas, bagaimana dengan jawaban sahabat saya yang kedua yang menyatakan bahwa sumber ilmu adalah al-Quran, sunnah, ijma’, dan qiyas?

Kalau jawaban untuk sahabat yang pertama saya paparkan bahwa hal itu sudah dijelaskan oleh Imam Nasafi, maka untuk jawaban sahabat saya yang kedua ini diterangkan oleh Imam Syafi’i dalam kitabnya yang berjudul “Ar-Risalah”.

Dalam kitab yang populer tersebut, Imam Syafi’i berkata, “

" ليس لأحد أبدا أن يقول فى شيئ حل ولا حرم إلا من جهة العلم, وجهة العلم الخبر فى القرآن أو السنة أو الإجماع أو القياس"
“Tak seorang pun yang boleh mengatakan sesuatu itu halal atau haram kecuali dengan ilmu. Dan ilmu itu diperoleh melalui informasi yang ada di al-Quran, sunnah, ijma’ atau qiyas” (Ar-Risalah, hal. 508)

Berikut penjelasan tentang keempat sumber ilmu tersebut.

Pertama adalah al-Quran. Al-Quran adalah firman Allah Swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw sebagai mukjizat, disampaikan dengan jalan mutawatir dari Allah swt sendiri dengan perantara malaikat jibril dan mambaca al Qur'an dinilai ibadah kepada Allah swt.

Kedua adalah sunnah. Sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Saw dalam bentuk ucapan, perbuatan, dan penetapan yang dimaksudkan dengannya sebagai tasyri’ (pensyari’atan) bagi ummat Islam.

Ketiga adalah ijma’. Ijma’ adalah kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi.

Keempat adalah qiyas. Qiyas adalah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam al-Qur’an dan hadits dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa keempat sumber tersebut tidak terlepas dari al-Quran dan hadits. Maka tidak mengherankan jika Imam Syafi’i membuat pola hierarkis yang kedudukannya berurutan. Sumber yang pertama al-Quran, yang kedua hadits, yang ketiga ijma’, dan yang keempat qiyas. Urutannya harus begitu. Tidak boleh dibolak-balik.  

Dengan hierarkis seperti ini mempunyai implikasi bahwasanya segala jenis ilmu harus sesuai dengan standar al-Quran, dan tidak boleh bertentangan. Kalaupun ada ilmu yang kontradiktif dengan al-Quran, maka di sana ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, ilmu itu salah, dan kemungkinan kedua, pemahaman dan penafsiran kita tentang al-Quran itu yang salah.

Baik, kita sudah mendapat penjelasan tentang sumber ilmu menurut sahabat saya yang pertama dan juga menurut sahabat saya yang kedua. Sumber ilmu menurut sahabat saya yang pertama (panca indera, akal, khabar shadiq, intuisi) bisa ditelusuri dalam kitab Imam An-Nasafi, dan sumber ilmu menurut sahabat saya yang kedua (al-Quran, sunnah, ijma’, qiyas) bisa ditelusuri dalam kitab Imam Syafi’i.

Lalu, mana yang benar? Pendapat sahabat saya yang pertama atau pendapat sahabat saya yang kedua?

Menurut hemat saya, keduanya sama-sama benar. Perbedaanya terletak pada dari sisi mana kita melihatnya. Keempat sumber ilmu menurut Imam Nasafi (panca indera, akal, khabar shadiq, dan intuisi) adalah sumber ilmu yang dilihat dari sisi epistemologis, yaitu alat/saluran/instrumen untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Sedangkan keempat sumber ilmu menurut Imam Syafi’i (al-Quran, sunnah, ijma’, dan qiyas) adalah sumber ilmu yang dilihat dari aspek sumber ilmu syariah, yaitu mashadirul ahkam (sumber hukum-hukum) dalam Islam yang senantiasa dijadikan sandaran. Wallahua’lam bis shawab.


Surabaya, 23 November 2016