Democritus[2]
(salah satu pencetus paham materialisme) menyatakan bahwasanya alam semesta dan
manusia berasal dari materi. Dari idenya ini, muncullah sebuah paham yang
dikenal dengan materialisme. Paham materialisme menyatakan bahwa hal yang dapat dikatakan
benar-benar ada
adalah materi.
Dan pada dasarnya semua hal terdiri atas materi dan semua fenomena adalah
hasil interaksi material[3].
Berbeda
dengan paham materialisme yang tidak mengakui adanya pencipta, maka dalam Islam
dikenal adanya konsep tauhid yang memandang alam semesta berasal dari sang
Pencipta yaitu Allah, kembali kepada-Nya, dan berpusat di sekitar-Nya.[4]
Dan
karena alam semesta memiliki pencipta, maka terdapat unsur teleologi di
dalamnya. Artinya, alam semesta memiliki nilai kebertujuan.
Di bawah ini diterangkan tentang
pengertian tauhid, metafisika, dan teleologi serta penjelasan mengenai tauhid dalam
Islam sebagai prinsip metafisika serta hubungannya dengan unsur teleologis
dalam penciptaan alam semesta yang berbeda dengan paham ataupun agama lain.
B.
Makna Tauhid, Metafisika,
dan Teleologis
Tauhid
berasal dari kata wahhada sebagaimana dikatakan tsannaahu dan tsallatsahu,
dan makna secara umum adalah menjadikan sesuatu menjadi satu. Seperti kata tauhiidul
kalimah artinya menyatukan kata. Dan
dikatakan tauhiidul quwwah artinya menyatukan kekuatan[5].
Adapun
secara istilah tauhid memiliki pengertian keyakinan mengesakan Allah dengan
rububiah-Nya, ikhlas beramal kepada-Nya, dan menetapkan nama-nama dan sifat-Nya[6].
Tauhid
juga bisa bermakna pandangan umum
tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang dan waktu, sejarah manusia dan takdir[7]
Adapun
metafisika berasal dari bahasa Yunani μετά (meta) = "setelah atau
di balik", dan φύσικα (phúsika) = "hal-hal di alam", adalah cabang filsafat
yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di dunia.
Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas.
Metafisika mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah sumber dari
suatu realitas? Apakah Tuhan
ada? Apa tempat manusia di dalam semesta?
Cabang utama metafisika adalah ontologi,
studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan hubungan antara satu dan
lainnya. Ahli metafisika juga berupaya memperjelas pemikiran-pemikiran manusia
mengenai dunia, termasuk keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu, hubungan sebab akibat, dan kemungkinan.
Namun penggunaan istilah "metafisika"
telah berkembang untuk merujuk pada "hal-hal yang di luar dunia
fisik". "Toko buku metafisika", sebagai contoh, bukanlah menjual
buku mengenai ontologi, melainkan lebih kepada buku-buku mengenai ilmu gaib, pengobatan alternatif, dan hal-hal
sejenisnya[8].
Sementara teleologi adalah studi
filsafat tentang rancangan (penciptaan) dan tujuan. Paham ini menyatakan bahwa
segala sesuatu itu dirancang atau diarahkan kepada hasil final bahwa ada tujuan
inheren atau sebab terakhir bagi semua ciptaan ada[9]. Atau secara sederhana teleologi bisa dipahami sebagai nilai kebertujuan.
Pandangan teleologi ini pada perkembangannya selanjutnya banyak
digunakan oleh disiplin-disiplin lain seperti filsafat sejarah, sains, biologi,
ekonomi, fisika, dan lingkungan (ekologi)[10]. Selain itu, makna teleologi ini sangat erat kaitannya dengan
teologi, karena dalam teleologi ada pengakuan terhadap Sang Perancang (the
Designer) atau al-khaliq[11].
C.
Tauhid Sebagai Prinsip Metafisika
1.
Tauhid sebagai cara pandang dalam Islam yang berbeda dengan materialisme
dan agama lain
Prinsip
metafisika dalam Islam berbeda dengan
agama lain. Dalam agama Kristen misalnya, alam dianggap sebagai makhluk Tuhan
yang pernah sempurna, akan tetapi kemudian rusak dalam “kejatuhan” dan dengan
demikian menjadi jahat. Kejahatan penciptaan yang bersifat ontologis, esensial
dan pervasif, menjadi alasan penebusan dosa yang dilakukan Yesus dengan cara
disalib.
Secara
praktis, ajaran Kristen menganggap ciptaan telah jatuh, dan alam dianggap
sebagai kejahatan. Kebencian kepada materi yang menjadi ciri gnostisisme[12] terwariskan kepada agama Kristen. Alam, dengan kemampuan dan
kecenderungan materialnya, adalah dunia setan.
Dalam
agama ini, alam dipertentangkan dengan rahmat selama ribuan tahun. Akan tetapi
karena adanya dampak pemikiran Islam, renasains, skolastisisme, dan pencerahan
orang-orang Kristen kemudian membuka diri kepada kehidupan dan juga penegasan
dunia. Akan tetapi, sangkalan dan kutukan terhadap dunia tidak pernah terhapus,
hanya terbungkam saja. [13]
Adapun
dalam agama Hindu, diyakini bahwa alam merupakan hasil dari peristiwa yang
terjadi atas dewa Brahma[14], Yang Mutlak. Ciptaan (yaitu setiap makhluk individual) merupakan obyektivikasi dari-Nya (Yang Mutlak)
yang seharusnya tidak terjadi karena hal itu merupakan suatu kemerosotan dari
kemampuan-Nya sebagai Yang Mutlak. Oleh karena itulah segala sesuatu yang ada
di dalam alam dianggap sebagai penyimpangan, sebagai sesuatu yang terkurung
dalam bentuk makhluk, yang mendambakan untuk bebas dan kembali kepada asalnya
dalam dan sebagai Brahma. Sementara alam semesta masih merupakan makhluk di dunia, ia tunduk
pada hukum karma di mana ia ditingkatkan, atau lebih diturunkan derajatnya.
Sesuai dengan apakah ia mengakui dan mengikuti prinsip kosmologi yang ada di
agama Hindu, yaitu bahwa alam merupakan kecelakaan ontologis dari Yang Mutlak.[15]
Adapun
dalam Islam, alam dipandang sebagai ciptaan dan anugerah. Hal ini lahir dari
pandangan tauhid, di mana Allah yang merupakan satu-satu-Nya Tuhan yang berhak
disembah merupakan Pencipta alam raya ini. Sebagai ciptaan, ia bersifat
teleologis, sempurna dan teratur. Sebagai anugerah, alam merupakan kebaikan
yang tak mengandung dosa yang disediakan untuk manusia. Tujuannya adalah
memungkinkan manusia melakukan kebaikan dan mencapai kebahagiaan[16].
2.
Alam Semesta Teleologis
Alam
dalam paham materialisme dianggap tidak memiliki unsur teolologis, karena ia tidak
memiliki pencipta dan oleh karena itu alam bersifat netral. Alam dianggap ada
dengan sendirinya tanpa ada yang membuat. Begitu juga adanya makhluk hidup di
bumi (termasuk manusia). Manusia dan makhluk hidup lainnya dianggap bisa bertahan dan hidup di bumi
karena terdapat seleksi alam, yaitu yang dikenal dengan teori evolusi Charles Darwin (1809-1882). Adapun
kejadian-kejadian di alam terjadi karena adanya hubungan sebab akibat[17]. Jadi kesimpulannya, alam dianggap tidak memiliki unsur teleologis
karena alam ada dengan sendirinya tanpa pencipta.
Hal di atas bertentangan
dengan Islam. Dalam Islam, tatanan alam bukanlah semata-mata tatanan material
seputar sebab-sebab dan akibat-akibat. Bukan pula hanyalah tatanan yang oleh ruang dan waktu serta kategori-kategori
teoritis lain semacam itu membuat kejelasan pada pemahaman kita. Akan tetapi
alam juga merupakan lapangan tujuan-tujuan di mana segala sesuatu memenuhi
suatu tujuan dan dengan cara demikian memberikan sumbangan bagi kesejahteraan
dan keseimbangan segalanya.
Dari sebutir kerikil
yang tak bernyawa di lembah, plankton yang paling kecil pada permukaan laut, flagellata
mikroba di dalam usus serangga, hingga bimasakti-bimasakti dengan
matahari-mataharinya, pohon-pohon redwood raksasa, ikan paus dan gajah –
segala sesuatu yang ada, melalui kelahiran dan pertumbuhannya, kehidupan dan
kematiannya, memenuhi suatu tujuan yang telah ditetapkan untuknya oleh Tuhan. Semua
makhluk saling bergantung satu sama
lainnya dan berjalan lancar karena adanya keselarasan yang sempurna di antara
bagian-bagiannya[18].
Dalam hal ini Allah berfirman, “Sesungguhnya segala sesuatu
telah Kami ciptakan dengan ukuran……Maka sekali-kali tidak akan kamu dapati
penggantian dalam sunnah Allah”[19]. Inilah prinsip keseimbangan ekologi dalam Islam, di mana manusia
modern baru menyadarinya setelah terjadinya polusi alam di masa sekarang ini,
yang membawa serta berbagai bahaya itu. Umat muslim sesungguhnya telah
menyadarinya selama berabad-abad, dan telah melihat dirinya berada di dalamnya.
Masig-masing unsur ciptaan
saling menghidupi yang lainnya dan dihidupi oleh pihak yang ketiga (Allah)
jelas merupakan tujuan. Hal ini bisa dilihat pada makhluk-makhluk yang lebih
tinggi. Dominasi rangkaian yang sama di dunia ganggang, mikroba maupun enzim
lebih sulit diamati dan dibayangkan dalam seluruh jangkauannya dikarenakan tak
bisa dilihat oleh mata. Akan tetapi dominasi tersebut tidaklah kurang nyatanya.
Yang lebih sulit lagi untuk ditemukan dibanding pola-pola siklus makanan dalam
kehidupan nabati dan hewani adalah rantai kesalingtergantungan dalam aktivitas
seluruh makhluk. Yaitu aktivitas-aktivitas selain dari pencarian makanan, baik
yang berkaitan dengannya atau tidak, dalam aksi dan reaksi yang
berkesinambungan dari unsur-unsur tersebut satu terhadap yang lain; baik di
darat, di laut, di udara maupun di antara benda-benda di luar angkasa.
Pengetahuan kita tentang seluk-beluk ekologi alam masih dalam tahap yang sangat
dini. Ilmu-ilmu alam telah cukup membukakan sebagian darinya untuk memungkinkan
imajinasi kita mampu menyusun tersebut secara keseluruhan[20].
Oleh karena itulah, alam sebagai manifestasi-Nya
yang bersama-sama manusia menjadi unsur pembentuk ekosistem dalam kosmos yang
berperadaban dan bersifat teleologis. Dalam hal ini Fazlur Rahman menegaskan
bahwasanya karena setiap segala sesuatu itu secara langsung berhubungan dengan
Allah, maka setiap sesuatu itu melalui dan berada di dalam hubungan dengan-Nya.
Jadi kata Fazlur Rahman, Allah adalah makna realitas, sebuah makna yang
dimanifestasikan, dijelaskan, dibawakan oleh alam, dan selanjutnya oleh manusia[21].
Sebagai sebuah sistem teleologi,
dunia menyuguhkan kepada kita suatu tontonan yang agung. Ukuran dan keluasan
makrokosmos, rincian yang sulit dari mikrokosmos, serta sifat mekanisme
keseimbangan yang sempurna dan tak terbatas kerumitannya, menjadikan kita
tercengang dan terpukau. Dan, orang yang baik keimanannya dan (ulul Albab) akan
mengucapkan kalimat pengangungan kepada Allah dan menyadari bahwa Allah-lah
sang Pencipta dan segala ciptaan-Nya tidak ada yang sia-sia. Dalam hal ini
Allah berfirman: “Ulil Albab adalah orang-orang yang mengingat Allah ketika
berdiri, duduk atau sedang berbaring dan memikirkan tentang penciptaan dan bumi
seraya berkata, “Wahai Tuhan kami, Tidaklah sia-sia Engkau menciptakan semua
ini. Mahasuci engkau, peliharalah kami dari siksa api neraka[22].
Karena dunia sebagai ciptaan dari
Yang Maha Kuasa adalah indah dan benar-benar mulia dikarenakan teleologinya.
Ungkapan kagum seorang penyair, “Betapa indahnya bunga mawar! Padanya Nampak wajah
Tuhan!” tidak mempunyai arti lain kecuali bahwa bunga mawar itu memenuhi tujuan
manusia dan serangga melalui bau dan keindahannya bentuknya. Tujuan dan yang
telah dikaruniakan Tuhan (Allah) kepadanya dan yang dipenuhinya dengan
sempurna, yang mencerminkan, bagi mereka yang mampu melihatnya, efektifitas
yang cemerlang dan keterampilan yang sempurna dari Perancang dan Pencipta
agung, yaitu Tuhan (Allah)[23].
D.
Kesimpulan
Dari
pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa Tauhid sebagai landasan keimanan
seorang muslim menjadi asas dalam prinsip metafisika. Hal ini menjadikan
pandangan seorang muslim terhadap metafisika berbeda dengan pandangan-pandangan
hidup selain Islam; seperti pandangan paham materialisme, pandangan agama
Kristen, ataupun pandangan agama Hindu.
Dalam
pandangan Islam; alam semesta tidaklah
seperti pandangan Kristen yang menganggap alam adalah kejahatan, tidak seperti pandangan
Hindu yang menganggap alam merupakan kecelakaan ontologis dari Yang Mutlak, dan
tidak seperti paham materialisme yang menganggap alam semesta tidak memiliki unsur
teleologis.
Alam
semesta dalam Islam bisa “ada” karena ada yang menciptakan, yaitu Allah. Adanya
ketergantungan pada masing-masing unsur ciptaan jelas dipandang sebagai tujuan.
Dan suatu tujuan memberikan sumbangan bagi kesejahteraan dan keseimbangan dalam
alam semesta. Maka dari itulah, seorang muslim yang baik akan selalu melihat “wajah”
Allah dalam segala sesuatu serta berbagai kejadian yang terdapat di dalam alam.
[1] Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Metafisika
[2] Demokritos
lahir di kota Abdera, Yunani Utara. Ia hidup sekitar tahun 460
SM hingga 370 SM. Ia berasal dari keluarga kaya raya. Pada waktu ia masih muda,
ia menggunakan warisannya untuk pergi ke Mesir dan negeri-negeri Timur lainnya.
Selain menjadi murid Leukippos, Ia juga belajar kepada Anaxagoras
dan Philolaos.(lihat
http://id.wikipedia.org/wiki/Democritus)
[3] Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Materialisme
[4] Mudhofir
Abdullah, Al-Quran da Konservasi Lingkungan, (Jakarta: PT. Dian Rakyat,
2010), p. 141-142
[5] Ibnu Mandzur, Lisanul
Arab, cetakan ketiga, (Kairo: Daarul Hadits, 2003), p. 234
[6] Sholih bin
Fauzan, Aqidah Tauhid, (kairo: Daarul Kautsar, 2008), P.15
[7] Isma’il Raji
Al-Faruqi, Tauhid, (Bandung: Pustaka, 1988), p.10
[8]
Lihat http:/id.wikipedia.org/wiki/Metafisika
[9] Mudhofir
Abdullah, Al-Quran dan Konservasi ….,, p. 149
[10] Lihat
http:/en.wikipedia.org/wiki/Teleology
[11] Bandingkan
dengan Ismail Raji Al-Faruqi yang menyatakan bahwa kosmos adalah teleologis,
yaitu, memiliki tujuan dan mencerminkan tujuan Penciptanya. Ismail Raji
Al-Faruqi dan Lois Lamya, The Cultural Atlas of Islam (New York:
Macmillan Pub. Co., 1986), p.74
[12]
Gnosticism (bahasa Yunani:
γνῶσις gnōsis, pengetahuan)
merujuk pada bermacam-macam gerakan keagamaan yang beraliran sinkretisme
pada zaman dahulu kala. Gerakan ini mencampurkan pelbagai ajaran agama, yang biasanya
pada intinya mengajarkan bahwa manusia pada dasarnya adalah jiwa yang terperangkap di dalam alam
semesta yang diciptakan oleh tuhan yang tidak sempurna. Secara umum dapat
dikatakan Gnostisisme adalah agama
dualistik. (lihat Lihat http:/id.wikipedia.org/wiki/
Gnostisisme)
[13]
Isma’il Raji
Al-Faruqi, Tauhid,…. p.50-51
[14]
Menurut agama Hindu,
Brahma adalah salah satu di antara Trimurti
(Brahma, Wisnu,
Siwa). Dewa Brahma juga
bergelar sebagai Dewa pengetahuan dan kebijaksanaan. Beberapa orang bijaksana
memberinya gelar sebagai Dewa api. Dewa Brahma beristrikan Dewi Saraswati, yang
menurunkan segala ilmu pengetahuan ke dunia. Menurut mitologi Hindu, Dewa
Brahma lahir dengan sendirinya (tanpa Ibu) dari dalam bunga teratai
yang tumbuh di dalam Dewa Wisnu pada saat penciptaan alam semesta. Legenda lain
mengatakan bahwa Dewa Brahma lahir dari air. Di sana Brahman
menaburkan benih yang menjadi telur emas. Dari telur emas tersebut, lahirlah
Dewa Brahma Sang pencipta. Material telur emas yang lainnya menjadi Brahmanda,
atau telur alam semesta. (lihat http:/id.wikipedia.org/wiki/Metafisika)
[15]
M.M. Sharif
(ed.), A History of Muslim Philosophy, (Otto Harrasso-witz, Wiesbaden,
1963), Vol. One, Book I, p. 39-40 dalam Isma’il Raji Al-Faruqi, Tauhid,…. p.50
[16] Ibid, p. 51
[17]
Mudhofir
Abdullah, Al-Quran dan Konservasi ….,, p. 150
[18]
Isma’il Raji
Al-Faruqi, Tauhid,…. p.57
[19]
QS. Al-Qamar:49
dan QS. Fathir: 43
[20]
Isma’il Raji
Al-Faruqi, Tauhid,…. p.57-58
[21]
Fazlur Rahman, Major
Themes of The Quran (Minneapolis, Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980,
p.7
[22] QS. Ali Imron:
191
[23] Isma’il Raji Al-Faruqi, Tauhid,…. p.58
Daftar Pustaka
-
Abdullah,
Mudhofir. 2010. Al-Quran da Konservasi Lingkungan. Jakarta: PT. Dian
Rakyat
-
Al-Faruqi,
Isma’il Raji. 1988. Tauhid. Bandung:
Pustaka
-
Fauzan,
Sholih bin. 2008. Aqidah Tauhid. kairo:
Daarul Kautsar
-
Lamya,
Lois dan Ismail Raji Al-Faruqi. 1986. The
Cultural Atlas of Islam.New York: Macmillan Pub. Co.
-
Mandzur,
Ibnu. 2003 Lisanul Arab, cetakan ketiga. Kairo: Daarul Hadits
-
Rahman,
Fazlur. 1980. Major Themes of The
Quran. Minneapolis, Chicago: Bibliotheca Islamica
-
Sharif,
M.M. (ed.). 1963. A History of Muslim Philosophy, Vol.
One, Book I. Otto Harrasso-witz, Wiesbaden
-
http://id.wikipedia.org
-
http://en.wikipedia.org
Ponorogo, 3 Januari 2012
Subhanallah..
BalasHapusthanks for sharing..
:D
sama-sama :-)
BalasHapusAlhamdulillah....
BalasHapusSemoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat bagi hamba yg sudi berbagi pengetahuan....
Aamiin Yra