Mau baca bagian 1? Klik sini
Oleh: Luqman Hakim
C. Implikasi Teologi Kesetaraan Gender Riffat Hassan
C. Implikasi Teologi Kesetaraan Gender Riffat Hassan
1.
Penolakan
terhadap Hadits Shahih
Dalam
membangun epistemologi teologi kesetaraan gender, Riffat Hassan menjadikan
al-Quran sebagai pijakan utama, namun dalam beberapa kasus menolak hadits, jika
hadits tersebut menurutnya tidak sejalan dengan semangat al-Quran. Ia
memposisikan hadits sebagai sumber yang relatif dan dapat diperdebatkan (debatable).
Dengan kata lain, hadits tidak begitu saja digunakan tanpa nyaris kritik. Sebab
menurutnya, hadits tidak ada jaminan mengenai orisinalitasnya, termasuk
hadits-hadits yang tercantum dalam kitab hadits Imam Bukhari Muslim di mana
semua ulama sepakat atas keshahihan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh keduanya[1].
Padahal, sebagaimana dikatakan Imam al-Ghazali, jika menafsirkan al-Quran
dengan pendekatan linguistik dsb. semata-mata, tanpa menghiraukan keterangan hadits dan riwayat
yang shahih, maka hal ini dilarang dan dikecam.[2]
Sebagai
contoh Riffat Hassan menolak hadits tentang penciptaan perempuan dari tulang
rusuk Adam meskipun riwayat tersebut telah dianggap shahih. Ia mengklaim bahwa
hadits tersebut tidak sejalan dengan spirit al-Quran dan karenanya harus
ditolak. Ia juga menyatakan bahwa hadits tersebut dha’if karena terdapat
rawi (periwayat hadits) yang lemah[3].
Sebenarnya,
Riffat Hassan melakukan kecerobohan dalam mengkritik hadits tentang penciptaan
perempuan dari tulang rusuk Adam[4] tersebut. Riffat Hassan
menyatakan hadits-hadits tersebut dha’if karena ada empat orang
perawinya (Maisarah al-Asyja’i, Haramalah ibn Yahya, Zaidah dan Abu Zinad) yang tidak bisa
dipercaya. Riffat mendasarkan penilaiannya itu kepada adz-Dzahabi dalam
kitabnya Mizan al-I’tidal fi Naqd
ar-Rijal, di samping tentu saja ia
tidak menyetujui matan hadits-hadits tersebut.
Dalam metodologi Takhrij al-Hadits, jika ada nama perawi yang sama, mestinya seorang peneliti harus
meneliti secara cermat, perawi yang mana yang dimaksudkan. Hal ini dapat
dilakukan dengan cara melihat nama murid yang pernah meriwayatkan darinya. Oleh
karena itu, secara metodologis penelitian itu dianggap tidak tepat jika hanya
melihat nama yang sama, lalu diputuskan begitu saja, bahwa dialah yang
dimaksud.[5] Lagipula dalam kritik sanadnya, Riffat Hassan
tidak menjelaskan mengapa rawi-rawi itu dianggap tidak tsiqah. Padahal dalam metodologi Jarh wa al-Ta’dil, suatu penilaian mengenai ketidak-tsiqah-an rawi mesti harus dijelaskan, mengapa rawi
tersebut dianggap tidak tsiqah[6], karena jika tidak, orang akan gegabah dalam penilaian tersebut.
Setelah
diverifikasi ke kitab Mizan al-I’tidal fi Naqd ar-Rijal, perawi-perawi yang dianggap lemah (dhaif)
oleh Riffat Hassan sebenarnya sama sekali tidak pernah dinilai lemah oleh
al-Dzahabi. Zaidah yang di-dha’if-kan
oleh Adz-Dzahabi adalah: (1) Zaidah ibn Salim yang meriwayatkan dari Imran ibn
Umair; (2) Zaidah ibn Abi ar-Riqad yang meriwayatkan dari Ziyad an-Numairi; dan
(3) Zaidah lain yang meriwiyatkan dari Sa’ad. Zaidah yang terakhir ini di-dha’if-kan oleh
Bukhari sendiri. Kalau Bukhari sudah men-dha’if-kan,
mustahil dia akan tetap memakainya. Dengan demikian, Zaidah yang dha’if itu
bukan Zaidah yang meriwayatkan dari Maisarah seperti pada Bukhari dan Muslim.[7]
Zaidah-nya Bukhari Muslim ini adalah Zaidah ibn Qudamah ats-Tsaqafi, Abu
ash-Shalat al-Kufi, meriwayatkan dari dia Ibn al-Mubarak, Abu Usamah dan Husain
ibn Ali.[8]
Maisarah yang di-dha’if-kan oleh
adz-Dzahabi adalah Maisarah ibn ‘Abd rabbih al-Farisi itsumma al-Bashri
at-Turasi al-Akkal, seorang pemalsu hadits. Sedangkan Maisarah-nya Bukhari
Muslim adalah Maisarah ibn Imarah al-Asyja’i al-Kufi[9],
bukan yang di-dhaif-kan oleh
adz-Dzahabi. Sedangkan Abu Zinad perawi Bukhari Muslim adalah Abdullah ibn
Zakwan yang oleh adz-Dzahabi sendiri dinilai tsiqah Syahrir.[10] Dalam
al-Jarh wat-ta’dil ungkapan tsiqah Syahrir termasuk derajat
kepercayaan yang tinggi. Begitu juga dengan Haramallah ibn Yahya. Adz-Zahabi
sendiri menilainya sebagai salah seorang Imam yang dipercaya (ahadu
al-aimmah ats-tsiqat)[11].
Hal ini menunjukkan bahwa Riffat Hassan telah melakukan kecerobohan dalam
menilai hadits, sehingga hadits (walaupun setingkat hadits yang diriwayatkan
Bukhari Muslim) yang menurutnya tidak sesuai dengan prinsip kesetaran gender harus ditolak.
2.
Implikasi
Syariah
a.
Konsep
kepemimpinan (qawwam)
Riffat mengkritik penafsiran ayat-ayat
tentang perempuan, di antaranya tentang konsep qawwam yang termaktub
dalam surat An-Nisa’ ayat 34. Ia tidak terima karena ia menganggap bahwa hasil
penafsiran ulama mengandung bias gender. Bentuk kritiknya adalah mengapa kata qawwamun
diartikan sebagai pemimpin atau penguasa;
bukan penopang, pelindung atau pencari nafkah?
Riffat Hassan menyatakan bahwa jika
kata qawwamun ditafsirkan sebagai penopang, berarti laki-laki adalah
pelindung atau penopang bagi kaum perempuan. Menurutnya, kata qawwamun
lebih tepat diartikan
sebagai pencari nafkah atau mereka yang menyediakan sarana pendukung kehidupan.[12]
Dari penafsiran ini, Riffat Hassan
beranggapan bahwa qawwamah tidak dapat diperoleh secara otomatis dan
bersifat mutlak, melainkan bersyarat. Syarat untuk menjadi qawwam
tersebut adalah dengan menjadi penopang, pelindung, atau pencari nafkah.
Oleh karena itu, bagi Riffat Hassan ayat 34 surat
An-Nisa’ tersebut mestinya tidak sepenuhnya dijadikan legitimasi dan
justifikasi bahwa perempuan subordinat di bawah lelaki. Tapi lebih merupakan
statement normatif yang menyangkut konsep Islam tentang pembagian kerja dalam
sebuah struktur keluarga dan masyarakat. Artinya, secara ideal mestinya
laki-laki harus menjadi pencari nafkah, bertanggung jawab mengenai nafkah
keluarga, mengingat beban berat yang harus dipikul perempuan, sebab mereka
mesti melahirkan anak, menyusui, merawat dan
membesarkannya. Oleh karenanya, perempuan tidak harus dibebani mencari nafkah
dalam waktu yang bersamaan.[13]
Kata qawwamun itu sendiri menurut
Riffat merupakan pernyataan Al-Qur’an yang menunjukkan pembagian kerja antara
laki-laki dan perempuan. Pembagian tersebut bertujuan untuk menciptakan dan
mempertahankan keseimbangan dalam kehidupan masyarakat. Dalam pembagian
tersebut, kaum laki-laki bertugas mencari nafkah karena mereka tidak
berkewajiban melahirkan anak. Pendek kata, laki-laki berfungsi produktif
sedangkan perempuan reproduktif. Kedua fungsi ini memang terpisah namun saling
melengkapi untuk menciptakan harmoni. Sehingga,
menurut Riffat Hassan, di antara keduanya
juga tidak ada yang lebih tinggi atau rendah.
Hal
ini menunjukkan bahwa Riffat Hassan tidak menginginkan adanya konsep
kepemimpinan dalam keluarga. Karena kalau konsep kepemimpinan ada, maka
laki-lakilah yang menjadi pemimpin dan perempuan adalah pihak yang dipimpin. Ia
tidak menginginkan hal ini karena hal ini menunjukkan perempuan berada di bawah
perempuan dan menunjukkan tidak ada kesetaraan gender antara laki-laki dan
perempuan.
Pandangan Riffat Hassan ini bertentangan
dengan para mufassir yang telah diakui kredibilitasnya. Sebutlah misalnya Az-Zamahsyari
dalam Al-Kasysyaf ‘an haqaaiq at-Tanzil wa ‘Uyun al-‘Aqawil[14],
Ibnu Katsir dalam Tafsisr al-Qur’an
al-Adzim[15], dan
Al-Alusi dalam Ruhul Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al- Adzim was-Sab’il matsani[16]yang menafsirkan
bahwa kata qowwam dalam An-Nisa’ ayat 34 tersebut bermakna pemimpin,
sebagaimana wali/khalifah sebagai pemimpin bagi rakyatnya. Jadi bisa
disimpulkan bahwa suami (laki-laki) adalah pemimpin bagi istrinya. Kepemimpinan
suami ini lebih jelas lagi kalau dicermati bagian akhir ayat yang dibahas, yang
menggunakan kata taat: Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Penggunaan kata “taat” menunjukkan
hubungan suami dengan istri bersifat struktural. Kalau tidak struktural, kata
yang digunakan tentu bukan menaati, melainkan menyetujui, menerima pendapatmu,
dan yang sejenisnya. [17]
b.
Konsep
Jilbab
Dalam pandangan Riffat, masalah jilbab (purdah)
sebenarnya merupakan masalah yang cukup kompleks. Menurutnya, munculnya konsep
jilbab bermula dari adanya suatu sistem pembagian dua wilayah dalam masyarakat
Islam, wilayah privat yaitu rumah, dan wilayah umum yaitu tempat kerja.
Perempuan berada di wilayah privat, sedangkan laki-laki di wilayah umum.
Menurut asumsi masyarakat umum masyarakat Islam, selama masing-masing pihak
tetap berada di tempatnya, semuanya akan beres dan aman. Ini berarti sistem
pemisahan atau pemencilan segresi (segregation system). Menurut
pandangan umum masyarakat Islam, kedua jenis kelamin itu harus dipisahkan dan
pengaturan semacam ini dianggap paling tepat dan paling baik. [18]
Setelah Riffat Hassan menjelaskan asumsi umum
masyarakat Islam, dia lalu mencoba bagaimana pandangan al-Quran tentang hal
itu. Menurutnya, ideal moral yang dikehendaki al-Quran sebenarnya adalah
prinsip kesahajaan. Al-Quran sangat menekankan bahwa perempuan harus bersahaja,
bukan saja dalam berpakaian
tetapi juga dalam berbicara, berjalan, bertingkah laku, dan lain sebagainya.
Prinsip semacam ini menurutnya juga dianjurkan kepada laki-laki, meskipun
selanjutnya hal itu lebih banyak ditujukan kepada perempuan.[19]Jika
dalam praktiknya prinsip kesahajaan itu hanya ditekankan pada perempuan, hal
itu tidak diinginkan oleh Riffat Hassan karena akan menjadi bias gender. Sebab
pandangan tersebut terkesan masih diskriminatif. Seakan-akan perempuan yang dipojokkan
dalam masalah ini dan tubuh mereka seakan-akan dipandang sebagai sumber fitnah
bagi kaum laki-laki.
Menurutnya, dalam masyarakat patriarki
perempuan selalu menjadi objek seks. Maka al-Quran kemudian memerintahkan
kepada perempuan agar tidak berpakaian dan bertingkah laku seperti objek seks,
supaya orang tidak menuduhya bahwa ia ingin diperlakukan sebagai objek seks. Dalam konteks seperti itulah, menurutnya,
maka Nabi Saw. disuruh memerintahkan istri-istrinya dan kaum perempuan yang
beriman, ketika akan meninggalkan rumah agar memakai jilbab, supaya dianggap
perempuan shaleh dan tidak diganggu. [20]
Dalam
hal ini, Riffat Hassan melakukan kontekstualisasi konsep jilbab yang tertera
dalam al-Quran surat al-Ahzab ayat 59[21],
dengan mengambil sisi ideal moralnya, dan tidak ingin terjebak pada legal
formalnya. Menurutnya,
ideal moral dari pemakaian jilbab adalah agar perempuan tidak diganggu dan
terhormat. Oleh karena itu, menurutnya, jilbab dapat diartikan sebagai pakaian
yang menurut kepantasan setempat dan menjadikan perempuan dihormati
kemanusiannya.
Cara penafsiran seperti ini akan liar, karena
kalau jilbab diartikan sebagai pakaian yang menurut kepantasan setempat, maka
aka ada perbedaan di masing-masing
bentuk pakaiannya. Bahkan, walaupun wanita membuka auratnya di depan umum jika
sesuai dengan rasa kepantasan di suatu tempat bisa diperbolehkan. Tentu hal ini
akan menjadikan hukum Islam berubah, dari yang yang haram menjadi halal.
B.
Hubungan
Keserasian Perempuan dan Laki-laki dalam Islam
Dalam
mengusung konsep kesetaraan gender, sebagaimana kaum feminis[22]
yang lain, Riffat Hassan berkiblat kepada Barat.
Ia memandang bahwa kesetaraan gender harus harus sama (fifty-fifty),
baik domestik maupun publik. Padahal, apabila kesetaraan diartikan bahwa segala sesuatu harus sama (50/50), maka
akan didapati ayat-ayat al-Qur’an yang nantinya dimaknai diskriminatif terhadap
kaum perempuan. Makanya ia dan kaum feminis lainnya tidak terima kalau ada
penafsiran beberapa ayat al-Quran yang cenderung menganggap laki-laki dan
perempuan tidak setara[23] sekalipun yang menafsirkan adalah para
mufassir yang telah diakui kredibilitasnya. Terlebih lagi kesetaraan gender
yang disuarakan oleh Riffat Hassan dan kaum feminis lainnya merupakan ideologi Marxis, yang menempatkan perempuan sebagai
tertindas dan laki-laki sebagai penindas. Dengan ideologi yang demikian, kaum
feminis muslim akan terus-menerus mencoba menggali dasar-dasar Islam tidak
dengan cita-cita Islam, melainkan cita-cita yang dibangun atas kepentingan kaum
feminis sendiri.[24]
Ratna
Megawangi dalam bukunya Membiarkan
Berbeda menyatakan
bahwa ketimpangan harus dibedakan dengan
diferensiasi. Diferensiasi dalam peran, status dan bakat perlu
dilihat sebagai jenis-jenis berbeda yang tidak dapat dibandingkan secara
kuantitatif. Maka, diferensiasi peran pria dan wanita yang bersumber dari
keragaman alami, harus dilihat sebagai “simply another mode of being”.
Oleh karena itu, ia memandang bahwa perbandingan kuantitatif antara pria dan wanita , atau ukuran kesetaraan
gender yang 50/50, perlu dihilangkan sebisa mungkin.[25]
Maka
dari itu, istilah yang tepat dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan
adalah keserasian gender, bukan kesetaraan gender (50/50). Artinya, walaupun antara laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan, maka perbedaan tersebut adalah fitrah
masing-masing, yang menegaskan bahwa antara yang satu dan yang lainnya ada
saling keterkaitan dan saling melengkapi. Keserasian
tersebut dibangun di atas syari’at, bersandar pada asas saling melengkapi satu
sama lainnya, bukan perlawanan, serta kerjasama yang tidak mengandung persaingan.
C.
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan
bahwa konstruksi teologi kesetaraan gender yang dibangun Riffat Hassan hanyalah
mengadopsi konsep teologi feminisme yang berkembang di Barat. Padahal berbeda
dengan perempuan di Barat yang memiliki sejarah yang kelam lantaran perempuan dipandang hina dan
diperlakukan secara diskriminatif, dalam Islam perempuan justru dimuliakan.
Kedatangan Islam telah mengeliminasi adat-istiadat jahiliyah yang merugikan
kaum perempuan serta mengangkat harkat
dan martabat mereka. Kalau subordinasi terhadap perempuan di Barat mendapatkan
legitimasi dari Bible, dalam al-Quran
perempuan justru dimuliakan.
Dalam
membangun teologi kesetaraan gender, Riffat Hassan melakukan 3 langkah, yaitu
(1) pendekatan normatif-idealis dan historis-empiris, (2) melakukan dekonstruksi
pemikiran keagamaan yang (menurutnya) bias gender , dan (3) melakukan
rekonstruksi pemikiran keagamaan yang (menurutnya) tidak bias gender. Dalam usaha konstruksi teologi kesetaraan gender
ini, Riffat Hassan justru terbukti cendrung melakukan bias gender, padahal dia
menuduh para mufassir yang bias gender. Selain itu, ada beberapa implikasi yang
ditimbulkan darinya, yaitu adanya penolakan terhadap shahih dan terdapat
implikasi syariah yang merubah hukum Islam.
Adapun dalam Islam, hubungan antara laki-laki dan perempuan yang
benar adalah keserasian gender, bukan kesetaraan gender. Artinya, walaupun antara laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan, maka perbedaan tersebut adalah fitrah
masing-masing, yang menegaskan bahwa antara yang satu dan yang lainnya memiliki
hubungan saling keterkaitan dan saling melengkapi. Keserasian tersebut dibangun di atas syari’at, bersandar pada asas saling
melengkapi satu sama lainnya, bukan perlawanan, serta kerjasama yang tidak mengandung
persaingan. Wallahua’lam.
Daftar Pustaka
Abdullah, Amin, Neo Ushul Fiqih Menuju
Ijtihad Kontekstual, Yogyakarta: Fakultas Syari'ah Press dan Forum Studi
Hukum Islam, 2004
Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Usman
al-Zahabi, Mizan al-I’tidal fi
Naqd ar-Rijal, Beirut: Dar
al-Fikri, t.t.
Abdurrahman,
Khalid, Ushul At-Tafsir wa Qawaiduh,
Beirut : Dar An-Nafais. 1986
Adz-Dzahabi,
Muhammad Husain, at-Tafsir wa al-Mufassirun, (airo: Daar al-kutub
al-Haditsah, 1976
Armas,
Adnin, Tafsir Al-Qur’an atau Hermenutika Al-Qur’an dalam Jurnal Islamia. Thn.
I. No.I
Al-Alusi,
Syihabuddin Mahmud ibn Abdillah al-Husaini, Ruhul Ma’ani fi
Tafsir al-Qur’an al- Adzim was-Sab’il matsani, , Beirut: Daar al-Fikr, t.t
Al-Asqalani,
Ibn Hajar, Tahdzib at-Tahdzib, Beirut: Dar al-Fikr, 1984
Al-Attas,
Syed Muhammad Naquib, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993
Al-Baghdadi,
Muhammad At-Tamimi, Ushuluddin, Beirut:
Darul Kutub, 2002
Al-Faruqi,
Isma’il Raji, Al Tawhid: Its Implications
for Thought and Life, USA: International Institute of Islamic Thought, 1992
Al-Ghazali,
Imam, Ihya’ Ulumuddin, Kairo: Daar al-Ma’arif, 1967
Al-Qattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-Ilmu
Qur’an, penterj.Mudzakir AS, Jakarta: PT. Pustaka Litera Antar Nusa
dan Halim Jaya, 2007
Al-Suyuthi,
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin, Tafsri al-Quran al-‘Adzim, Semarang:
Maktabah Usaha Keluarga, t.t
Al-Twaijri,
Muhammad bin Ibrahim, Ushuluddin al
Islami, Riyad: Darul ‘Ashimah, 1414 H
Al-Zahabi,
Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Usman, Mizan al-I’tidal fi Naqd ar-Rijal,(Beirut: Dar al-Fikri, t.t.
Az-Zamahsyari, Al-Kasysyaf
‘an haqaaiq at-Tanzil wa ‘Uyun al-‘Aqawil, Beirut: Daar Al-Fikr, 1988
Baidhawy,
Zakiudidin, Wacana Teologi Feminis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997
Clarkson, J. Shannon dan Letty M. Russell, Dictionary
of Feminist Theology, Kentucky: Westmister John Knox Press, 1996
Dzuhayatin,
Siti Ruhaini dkk, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam
Islam,Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, McGill-ICIHEP, dan Pustaka
Pelajar, 2002
Eolson,
Roger dan Stanley J. Grenz, Twentieth-century
theology: god and the world in a transitional age, USA: inter varsity
press, 1992
Fakih,
Mansour, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999
Fathullah,
Amal, Ilm kalam,ponorogo: Darussalam, 2004
Ghanaim,
Muhammad Nabil, Dirasat fi at-Tafsir, Kairo: Darul Hidayah, 1987
Ghozali,
Abdul Malik, Jasa Perawi Wanita, dalam majalah Gontor edisi 11 tahun VII
April 2010
Hassan, Riffat,
Women’s and Men’s Liberation, (New York: Greenwood Press, 1991)
, Rights of Women: Muslim Practice Versus
Normative Islam, makalah yang disampaikan dalam workshop dengan “Women in Islam”, disponsori
oleh the international planned
Parenthood Federation yang diselenggarakan di Tunis pada Juli 1995
, Feminisme dan
al-Quran: percakapan dengan Riffat Hassan”, dalam jurnal Ulumul Quran Vol II, tahun 1990
, “Women’s
Interpretation of Islam”, dalam Hans Thijsen (ed.), Women and Islam in
Muslim Society, (Hague: Ministry of
Foreign Affairs, 1994
,
Women, Religion, and Sexuality, Study of Impact of Religious Teaching on Women,
Philadelphia: Trinity Press, t.t.
dan Fatimah Mernissi, Setara di Hadapan
Allah: Relasi laki-laki dan Perempuan dalam Tradisi Islam Patriarki, Yogyakarta: LSPA Yayasan
Prakarsa, 1995
Hawwa,
Sa’id, Mensucikan Jiwa-Intisari Ihya’ Ulumddin, Jakarta: Robbani Press,
2001
Hillar,
Marian, Liberation Theology, Houston: American Humanist Assosiation,
1993
Ibnu
Katsir, Abu al-Fida’ Isma’il bin Umar ad Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an
al-Adzim, t.t.p., Daarun thoyyibah:1999 M/ 1420 H
Imarah,
Muhammad, Meluruskan salah paham Barat atas Islam, terj. Al-Gharb wa
al-Islam: Aina al-khatta’ wa Aina al-Shawab,
Yogyakarta: Sajadah Press, 2007
Ismail,
Nurjannah, Perempuan dalam Pasungan, Yogyakarta: LKiS, 2003
Jurnal
Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, Vol. III No. 5
Lowy,
Michael, Teologi Pembebasan, pent: Roem Topatimasang, Yogyakarta: Insist
Press bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, cet. 3, 2003
Megawangi,
Ratna, Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi,Bandung: Mizan 1999
Mustaqim,
Abdul, Paradigma Tafsir Feminis, Membaca al-Quran dengan Optik Perempuan:
Studi Pemikiran Riffat Hassan tentang Isu Gender dalam Islam, Yogyakarta:
Logung Pustaka, 2008
Parsons, Susan Frank, The Cambridge
companion to feminist theology, Cambridge: Cambridge University Press, 2002
Ruether,
Rosemary Redford, Sexism and God-Talk: Toward A Feminist Theology, Boston:
Beacon Press, 1983
Sibawaihi,
Hermeneutika Al-Quran Fazlur Rahman, Yogyakarta: Jalasutra, 2007
Thahhan,
Mahmud, Ushul al-Takhrij wa Dirasatul Asanid, Beirut: Dar al-Quran
al-Karim, 1979
Trible,
Phyllis et.al, Feminist Approach to the Bible, Washington, DC: Biblical
Archaelogy Society, 1995
Wadud,
Amina ,Quran Menurut Perempuan, pent. Abdullah Ali, Jakarta: PT. Serambi
Ilmu Semesta, 2006
[1] Hassan, The
Issue of Woman-Man Equality in the Islamic Tradition, 65-66
[2] Imam
al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, (Kairo: Daar al-Ma’arif, 1967 ), h. 378-383
[3] Riffat Hassan,
Women’s Right and Islam from the ICPD to Beijing, h. 11
[4] Hadits
tersebut adalah:
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ وَمُوسَى بْنُ
حِزَامٍ قَالَا حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ زَائِدَةَ عَنْ مَيْسَرَةَ
الْأَشْجَعِيِّ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
قَالَ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَوْصُوا
بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ
فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ
لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ
Artinya:
Bercerita
kepada kami Abu Kuraib dan Musa bin Hizam, berkata mereka: bercerita kepada
kami Husain bin ‘Ali dan Zaidah dari Maysaroh al-Asyja’I dari Abu Hazim dari
Abu Hurairah berkata: berkata rasulullah SAW: “Berwasiatlah kepada perempuan
dengan cara yang baik, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan
sesungguhnya bagian tulang rusuk yang paling bengkok ialah bagian atasnya. Jika
engkau hendak meluruskannya, dia akan patah; dan jika engkau membiarkannya, dia
akan tetap bengkok. Maka berwasiatlah kepada perempuan dengan cara yang baik” (HR.
Bukhari no. 3084)
[5] Mahmud
Thahhan, Ushul al-Takhrij wa Dirasatul Asanid, (Beirut: Dar al-Quran al-Karim, 1979), h.
208-232
[6] Abu Abdillah
Muhammad ibn Ahmad ibn Usman al-Zahabi, Mizan al-I’tidal fi Naqd ar-Rijal, (Beirut: Dar al-Fikri, t.t.), jilid II, h. 161
[7] Abu Abdillah
Muhammad ibn Ahmad ibn Usman al-Zahabi, Mizan al-I’tidal fi Naqd ar-Rijal, h. 64-65
[8] Ibn hajar
al-Asqalani, Tahdzib at-Tahdzib, (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), Jilid III,
h. 264
[9] Ibn hajar
al-Asqalani, Tahdzib at-Tahdzib, jilid IV, h. 230
[10] Abu Abdillah
Muhammad ibn Ahmad ibn Usman al-Zahabi, Mizan al-I’tidal fi Naqd ar-Rijal, (Beirut: Daar al-Fikr, t.t), h.
418
[11] Abu Abdillah
Muhammad ibn Ahmad ibn Usman al-Zahabi, Mizan al-I’tidal fi Naqd ar-Rijal, h. 472
[12] Riffat Hassan,
Women’s Right in Islam, h. 130
[13] Riffat Hassan,
Women’s Right and Islam from The ICPD to Beijing, h. 79
[14] Lihat
Az-Zamahsyari, Al-Kasysyaf ‘an haqaaiq at-Tanzil wa ‘Uyun al-‘Aqawil, (Beirut:
Daar Al-Fikr, 1988), JIlid I, h. 523
[15]Lihat Abu
al-Fida’ Isma’il bin Umar bin Katsir al-Qursyi ad Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an
al-Adzim, (t.t.p: Daarun thoyyibah1999 M/ 1420 H), Jilid II, h. 292
[16] Lihat
Syihabuddin Mahmud ibn Abdillah
al-Husaini al-Alusi, Ruhul Ma’ani fi
Tafsir al-Qur’an al- Adzim was-Sab’il matsani,( Beirut: Daar al-Fikr, t.t), h. 41.
[17]Nurjannah
Ismail, Perempuan dalam Pasungan, (Yogyakarta: LKiS, 2003), h. 276
[18] Riffat Hassan,
Women, Religion, and Sexuality, Study of Impact of Religious Teaching on
Women (Philadelphia: Trinity Press, t.th.), h. 121
[19] Riffat Hassan,
Feminisme dan al-Quran: percakapan dengan Riffat Hassan”, dalam jurnal
Ulumul Quran Vol II, tahun 1990, h.
87
[20] Riffat Hassan,
Feminisme dan al-Quran, h. 89
[21] Bunyi ayat
tersebut adalah:
ياأيها النبي قل لأزواجك وبناتك ونساء المؤمنين
يدنين عليهن من جلبيبهن ذلك أدنى أن يعرفن فلا يؤذين وكان الله غفورارحيما (الأحزاب:59)
Artinya:”Hai
Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang”(Al-Ahzab: 59)
[22] Kaum feminis
selain Riffat Hasan adalah seperti Amina Wadud, Fatima Mernissi, dan Asghar Ali
Engeneer
[23]Isu-isu yang sering diangkat oleh para feminis ialah beberapa ayat-ayat
al-Quran yang menurut mereka sering
dijadikan argumen oleh kaum muslimin selama ini bahwa laki-laki dan perempuan
tidak setara, seperti perempuan
diciptakan dari laki-laki (QS. An-Nisa’: 1), laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan (QS.
An-Nisa’: 34), warisan laki-laki dua kali lipat daripada perempuan (QS.
An-Nisa’: 11), serta kesaksian satu orang laki-laki sama dengan dua orang
perempuan (QS. Al-Baqarah: ).
[24] Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda, h. 150-157
menarik untuk di kaji walau kadang ada yang sedikit perlu di pelajari secara mendalam, bahwa argumen tidak hanya dari satu orang,, namun bnyak ulama
BalasHapus