Kritik atas Teologi Kesetaraan Gender Riffat Hassan (1)

-->
*Tulisan ini juga dimuat di inisiasi.net  
 Mau baca bagian 2? Klik sini

Oleh: Luqman Hakim


A.    Pendahuluan
                       
Akhir-akhir ini, wacana kesetaraan gender di Indonesia telah menjadi program sosial yang disosialisakan melalui ranah politik dan akademik. Dalam ranah politik, sosialisasi kesetaraan gender telah dilakukan melalui lembaga pemerintahan seperti tim Pengarusutamaan Jender DEPAG, Departemen Pemberdayaan Perempuan, dan juga melalui LSM-LSM yang kian menjamur. Adapun dalam ranah akademik, telah didirikan institusi-institusi Pusat Studi Wanita (PSW) di berbagai perguruan tinggi yang pada tahun 2005 telah mencapai 132 di berbagai Universitas di Indonesia[1]. Buku-buku berbahasa Indonesia yang membahas tentang kesetaraan gender juga semakin banyak diterbitkan[2].
            Pada awalnya wacana kesetaraan gender beredar di negara-negara Barat dikarenakan perempuan di sana diperlakukan diskriminatif[3]. Lalu pada dekade terakhir (sekitar tahun 1970-an) wacana kesetaraan gender ikut melanda  dunia muslim[4]. Sejak saat itu, isu kesetaraan gender menjadi ramai diperbincangkan di berbagai negara muslim, termasuk Indonesia[5].
            Adapun dalam rangka mewujudkan kesetaraan gender, salah satu landasan teoritis yang dibangun untuk mewujudkan kesetaraan gender oleh kaum feminis  adalah melalui teologi, yaitu teologi pembebasan[6]. Teologi pembebasan yang diterapkan pada perempuan yang dianggap kelas tertindas disebut teologi feminis (feminist theology), yang kemudian berkembang dalam berbagai agama seperti Kristen, Yahudi, dan Islam[7]. Jadi, salah satu landasan teori yang dibangun oleh kaum feminis untuk mewujudkan kesetaraan gender adalah teologi feminisme, yang merupakan mazhab dari teologi pembebasan.
            Salah satu tokoh feminis yang disebut-sebut sebagai pelopor teologi feminisme dalam Islam dan sering menjadi rujukan kaum feminisme di Indonesia adalah Riffat Hassan[8]. Ia pernah menyatakan bahwa penyebab perempuan dipandang inferior dalam  berbagai hal berakar dari teologi yang selama ini hanya ditafsirkan oleh laki-laki[9]. Dari sini, ia kemudian mengkonstruksikan teologi feminisme (baca: teologi kesetaraan gender) dalam konteks Islam yang menurutnya tidak hanya perempuan yang akan dibebaskan dari struktur dan hukum yang tidak adil, tapi juga laki-laki [10].
            Dalam tulisan ini, penulis akan mengkaji konstruksi teologi yang dilakukan oleh Riffat Hassan untuk mewujudkan kesetaraan gender, implikasi yang ditimbulkan darinya, serta bagaimana hubungan keserasian perempuan dan laki-laki dalam Islam.

B.     Konstruksi Epistemologi Teologi Kesetaraan Gender Riffat Hassan

Secara eksplisit, Riffat Hassan tidak mendefinisikan dengan jelas apa yang disebut dengan teologi, namun ia menyatakan bahwa saat ini sangat penting sekali untuk mengembangkan teologi feminisme dalam konteks keislaman, sebagaimana di Barat telah dikembangkan teologi feminis dalam konteks Kristen dan Yahudi[11]. Di sini Riffat Hassan terlihat memahami dan mengadopsi teologi feminisme yang ada di Barat.
Adapun teologi feminisme yang berkembang di Barat[12] merupakan bagian dari teologi pembebasan[13] yang lahir dalam agama kristen[14]. Kalau dalam teologi pembebasan kelas yang tertindas adalah kaum miskin dan kaum tertindas lainnya, maka dalam teologi feminisme yang berkembang di Barat kelas tertindas yang dimaksud adalah perempuan[15]. Atau dengan kata lain, kalau dalam teologi pembebasan bermaksud membebaskan kaum miskin dan kaum tertindas lainnya dari ketidakadilan, maka dalam teologi feminisme bermaksud membebaskan perempuan dari ketertindasan dan ketidakadilan.
Teologi pembebasan (yang berarti juga teologi feminisme) berupaya mengejewantahkan kepercayaan dalam perbuatan (praxis) atau refleksi kritis terhadap praktek keagamaan[16]. Langkah kerjanya ialah  mengkontekstualisasikan agama dengan realitas sosial[17] sehingga ajaran agama menjadi nomor dua, yang dipentingkan justru bagaimana ia merespons keadaan sosial, yang pada akhirnya kebenaran agama menjadi kontekstual[18]. Adapun dalam Islam, pokok pembahasan teologi (ushuluddin/tauhid) merupakan basis dari agama[19] yang juga tidak  melepas unsur-unsur Islam yang bersifat praxis. Hanya saja, pembahasan terhadap unsur praxis agama tidak bisa melepaskan apa yang menjadi basisnya[20]. Karena itu, konsepsi teologi pembebasan  dan teologi feminisme tidak sesuai dengan konsepsi teologi dalam Islam.
Namun bagi Riffat Hassan, teologi feminisme dalam konteks keislaman perlu dikembangkan, walaupun ia berasal dari Barat[21]. Ia beralasan bahwa tidak hanya perempuan di Barat yang tertindas dan dianggap tidak setara sehingga perempuan dianggap makhluk sekunder dan berada di bawah laki-laki, tapi juga dalam Islam[22].
Padahal berbeda dengan perempuan di Barat yang memiliki sejarah yang kelam  lantaran perempuan dipandang hina dan diperlakukan secara diskriminatif[23], dalam Islam perempuan justru dimuliakan. Kedatangan Islam telah mengeliminasi adat-istiadat jahiliyah yang merugikan kaum perempuan[24] serta mengangkat  harkat dan martabat mereka. Kalau subordinasi terhadap perempuan di Barat mendapatkan legitimasi  dari Bible[25], dalam al-Quran perempuan justru dimuliakan[26].

Adapun dalam rangka membangun epistemologi teologi kesetaraan gender, Riffat Hassan melalui beberapa langkah, yaitu:

1.      Menggunakan Pendekatan normatif-idealis dan historis empiris

Langkah pertama yang dilakukan Riffat Hassan adalah menggunakan pendekatan dua level, yaitu: Pertama, pendekatan normatif-idealis dengan melihat deskripsi normatif al-Quran tentang perempuan. Seperti bagaimana seharusnya perempuan itu menurut al-Quran, tingkah lakunya, relasinya dengan Tuhannya, orang lain maupun dirinya sendiri. Kedua, pendekatan historis-empiris, dengan melihat kondisi empiris perlakuan terhadap perempuan yang dipraktikkan dalam masyarakat.  Dengan demikian, akan tampak bagaimana kondisi antara yang idealis-normatif dengan yang relistis-empiris. Menurut Riffat Hassan, data empiris membuktikan bahwa dalam kasus perempuan ternyata terdapat kesenjangan yang sangat lebar antara pesan al-Quran dengan kenyatan di lapangan. Hal ini menurutnya merupakan keadaan yang dialami hampir semua perempuan di manapun mereka berada[27].
Di sinilah kemudian Riffat Hassan tampak menggeneralisir permasalahan, seolah-olah semua permpuan muslim yang ada di dunia mengalami hal serupa. Padahal, kalaupun benar apa yang diutarakan Riffat Hassan bahwasanya dalam kenyataan di lapangan perempuan tidak sesuai dengan pesan al-Quran, bisa saja itu hanya kasus lokal di tempat tertentu yang terjadi lantaran sekelompok muslim tidak melaksanakan pesan al-Quran dengan baik.

2.      Melakukan Dekonstruksi Pemikiran Keagamaan yang (Menurutnya) Bias Gender

Pandangan Riffat Hassan di atas kemudian menjadikan Riffat Hassan berasumsi bahwasanya penyebab adanya ketertindasan perempuan di lapangan  berpangkal pada adanya kekeliruan pada asumsi teologis yang berkenaan dengan perempuan[28]. Berangkat dari asumsi ini Riffat Hassan menyatakan bahwa sekalipun terdapat perbaikan-perbaikan secara statistik, seperti hak-hak pendidikan, pekerjaan dan hak-hak sosial politik, perempuan akan tetap dianggap berada di bawah laki-laki jika landasan teologis yang melahirkan kecendrungan-kecendrungan yang bersifat misoginis dalam tradisi Islam tersebut tidak dibongkar]29].
Oleh karena itu, untuk mengembangkan teologi feminis (kesetaraan gender) dalam konteks Islam, yang pertama kali dilakukan Riffat Hassan adalah memeriksa landasan teologis yang berhubungan dengan perempuan. Ia memandang sumber-sumber  Islam seperti  seperti  al-Quran, sunnah, kepustakaan hadits dan fiqih hanya ditafsirkan oleh laki-laki, sehingga hasil penafsiran mereka akan cenderung merendahkan perempuan karena ingin mempertahankan status quo mereka[30]. Maka dari itulah, Riffat Hassan kemudian melakukan dekonstruksi[31] terhadap penafsiran yang telah dilakukan ulama. Tidak hanya itu, ia juga mendekonstruksi metodologi para ulama dalam melakukan penafsiran terhadap al-Quran.
Pandangan Riffat Hassan ini tampak berlebihan dan perlu dipertanyakan kebenarannya. Kalau anggapan Riffat Hassan benar bahwa adanya diskriminasi terhadap perempuan di masyarakat selama ini disebabkan sumber-sumber Islam tersebut hanya ditafsirkan oleh laki-laki, mengapa para perempuan muslim sejak zaman nabi sampai sekarang tidak ada yang “protes” terhadap penafsiran yang dilakukan kaum laki-laki. Penting diketahui bahwa perempuan-perempuan muslim sejak zaman nabi telah berkecimpung dalam dunia keilmuan, sehingga mereka pantas disebut ulama[32]. Namun, tidak ada dari mereka yang memiliki anggapan yang sama dengan Riffat Hassan, yaitu  adanya diskriminasi terhadap perempuan di masyarakat disebabkan sumber-sumber Islam hanya ditafsirkan oleh laki-laki.  Padahal mereka dikenal sangat kritis terhadap pemahaman agama.
Dalam tradisi keilmuan Islam, kualitas keimanan dan keilmuan seseorang sangat diperhatikan dan diperhitungkan, bukan karena dia itu laki-laki atau perempuan, termasuk dalam penafsiran. Karena itu, terdapat beberapa syarat dan adab  yang ditetapkan bagi siapapun yang ingin menjadi mufasir  sehingga membatasi kemungkinan adanya penyimpangan dalam menafsirkan al-Qur’an. Menurut Dr. Muhammad Nabil Ghanaim syarat-syarat tersebut ialah: 1) memiliki pengetahuan yang dalam tentang al-Quran dan Sunnah , 2) mengetahui pendapat para sahabat dan tafsir mereka terhadap al-Quran, 3) memiliki akidah yang lurus dan memegang teguh sunnah, dan 4) menguasai i’rab bahasa arab[33].  Adapun adab-adab yang harus dimiliki oleh penafsir menurut  Manna’ Khalil al-Qattan ialah ; berniat baik, berakhlak baik, ta’at dan beramal, berlaku jujur dan teliti dalam penukilan,  tawaddu’ dan lemah lembut, berjiwa mulia, vokal, berpenampilan baik, bersikap tenang dan mantap, mendahulukan orang yang lebih utama, serta mempersiapkan dan menempuh langkah-langkah penafsiran secara baik[34]. Oleh karena itu, walaupun mufasir tersebut laki-laki, maka tidak ada halangan untuk mengakui penafsiran mereka selama mereka berpegang pada persyaratan-persyaratan dan adab-adab di atas.

3.      Melakukan Rekonstruksi Pemikiran Keagamaan yang (Menurutnya) Tidak Bias Gender

Setelah melakukan dekonstruksi terhadap pemikiran keagamaan yang (menurutnya) bias gender, Riffat Hassan kemudian menyatakan diri sebagai teolog feminis[35] dengan jalan menafsirkan ulang sumber-sumber Islam yang menjadi landasan teologi berdasarkan pengalaman perempuan[36]. Hal itu ia lakukan dengan tujuan membantah penafsiran para ulama yang dianggap merugikan perempuan.
Gagasan untuk menafsirkan ulang landasan teologi berkenaan dengan perempuan yang dilakukan Riffat Hassan ini sebenarnya hanyalah mengikuti para feminis di Barat, terutama yang beragama Kristen. Dalam teologi feminisme yang ada di Kristen, untuk menafsirkan kitab suci mereka bisa menggunakan pengalaman-pengalaman kongkret perempuan[37]. Para perempuan di sana tidak puas karena landasan teologi mereka hanya ditafsirkan oleh laki-laki. Misalnya di antara mereka ada yang berkata, “Kita (para perempuan) perlu mengalahkan rasa takut untuk mengembangkan teologi kita sendiri; kita perlu menafsirkan dan mensistematikan pengalaman-pengalaman kita sendiri di dalam masyarakat Kristen di mana kita hidup”[38]. Begitu juga dengan pernyataan Riffat Hassan bahwa penafsiran al-Quran yang selama ini hanya dilakukan oleh laki-laki akan cenderung merendahkan wanita karena ingin mempertahankan status quo mereka, mirip dengan pernyataan salah seorang feminis Barat, Sarah Grimke. Sarah menyatakan bahwa penafsiran kitab Bible secara sengaja dibiaskan terhadap kaum perempuan guna mempertahankan posisi subordinatif (sekunder) mereka (laki-laki)[39]. Oleh karena itu, ide Riffat Hassan ini sedikit banyak dipengaruhi oleh para feminis di Barat. Padahal sebagaimana dijelaskan di atas, persoalan yang ada dalam dunia Islam tidak bisa disamakan dengan persoalan yang ada di Barat, begitu juga dengan solusinya[40].
Ketika Riffat Hassan berupaya melakukan penafsiran ulang terhadap ayat-ayat yang hanya ditafsirkan oleh laki-laki sehingga (menurutnya) terjadi bias gender, maka ia kemudian melakukan rekonstruksi dengan menawarkan metodologi penafsiran yang menggunakan pendekatan hermeneutika. Dalam hal ini ia mengikuti metode penafsiran al-Quran yang dikemukakan oleh Fazlurrahman[41], yaitu menggunakan metode historis kritis yang membedakan aspek ideal moral dan legal formal[42]. Namun, dari pembedaan dua aspek tersebut, yang dipilih adalah aspek ideal moral yang berisi spirit dan ide-ide al-Qur’an yang dianggap universal, daripada aspek legal formal yang dianggap parsial. Alasan dipilihnya aspek ideal moral ini, karena aspek inilah yang diharapkan oleh mereka dapat menafsirkan al-Qur’an secara utuh dan holistik[43].
Teori Fazlurrahman ini dikenal dengan teori gerakan ganda (double movement)[44] yang diambil dari Emilio Betti, seorang penganut hermenutika mazhab objektivis yang ingin menekankan pada nilai-nilai objektif teks -sebagai pemilik kedaulatan sepenuhnya- dan sebisa mungkin menghindari intervensi subjektif. Dalam konteks penafsiran al-Qur’an, penafsiran akan dilakukan oleh al-Qur’an itu sendiri[45].
Namun kenyataanya aplikasi hermenutika aliran objektif  ini sebenarnya menyisakan ruang yang subjektif. Penafsiran akan selalu terbuka dan selalu memerlukan revisi, menolak hal yang permanen dalam tafsir al-Qur’an, mempertahankan makna normatif dan historis dan kebenaran hanya sebatas kondisional tergantung budaya dan lingkungan historis, serta yang paling mendasar adalah terbukanya ruang bagi munculnya tafsir dugaan dan tafsir keraguan[46].
    Riffat Hassan juga mengembangkan tiga prinsip metodologis sebagai operasionalisasi metode yang ditawarkannya, terutama ketika ia mencoba melakukan penafsiran tandingan. Ketiga prinsip metodologis tersebut adalah: (1) linguistic accuracy, yaitu memeriksa ketepatan makna kata dari berbagai konsep yang ada dalam al-Quran dengan menggunakan analisis semantik, (2) criterion of philosophical consistency, melakukan pengujian atas konsistensi filosofis dari penafsiran-penafsiran yang telah ada, dan (3) ethical criterion, menggunakan prinsip etis, yang didasarkan pada prinsip keadilan yang merupakan perceminan dari justice of God atau keadilan Tuhan[47]
Dari rekonstruksi metodologi penafsiran Riffat Hassan ini, ada beberapa kritik yang dapat diajukan, antara lain:
Pertama, dalam memperoleh makna ketepatan teks, Riffat menggunakan analisis semantik berdasarkan konteks historis-sosiologis ketika kata atau konsep tersebut dipakai. Metode ini tetap menyajikan pertanyaan bagi kita bagaimana seseorang dapat memperoleh gambaran utuh mengenai sosial waktu itu, sebab terdapat jarak yang sangat jauh antara sosial pada waktu teks-teks tersebut dilahirkan dengan situasi sosial dewasa ini, ketika teks-teks itu dijadikan rujukan. Implikasi teoritisnya, sangat mungkin akan terjadi bias-bias kesejarahan dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut. Pertanyaannya, dari mana kita mengetahui gambaran situasi sosial saat itu? Mungkin seseorang akan menggunakan riwayat-riwayat asbabun nuzul, akan tetapi, keberadaannya sedikit dan tidak semua ayat mempunyai asbabun nuzul.
Kedua, Riffat Hassan justru  memiliki kecendrungan bias gender ketika melakukan penafsiran, padahal dia telah menuduh para mufassir yang melakukan bias gender. Hal itu terlihat ketika Riffat Hassan menafsirkan kata “Adam”. Menurutnya, kata tersebut berasal dari adamah bahasa Ibrani yang berarti tanah, ditafsirkan sebagai suatu konsep atau salah satu spesies, bukan nama diri. Kemudian Riffat sampai pada kesimpulan bahwa Adam tidak harus laki-laki, tapi bisa jadi perempuan. Sebab menurutnya, jika Adam itu laki-laki mestinya kata yang tepat untuk menyertai Adam adalah kata zaujatun, bukan zauj, tapi mengapa al-Quran menggunakan kata zauj? Penafsiran Riffat semacam itu disamping secara linguistik (gramatika bahasa Arab) tidak tepat, karena kata Adam dilihat dari sisi redaksinya (lafadz) jelas mudzakkar, lalu mengapa seolah-olah Riffat mengandaikan bahwa Adam bisa jadi perempuan. Demikian pula kata zauj, meskipun lafadznya mudzakkar, karena tidak ada ta’ ta’nits-nya, namun ia tetap bersifat netral, sehingga bisa dipakai untuk laki-laki dan juga bisa perempuan.
Jika ditelisik  dari analisis linguistik, Adam memang berjenis laki-laki, sebab kata kata ganti (dhamir) yang merujuk pada kata ganti “Adam” semuanya menggunakan dhamir mukhattab mudzakkar, yaitu anta (kamu laki-laki), di antara yang paling tegas adalah ayat yang berbunyi “uskun anta wa zaujaka al-Jannah” dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 35 dan Q.S. al-A’raf [7]: 19. Dalam kedua ayat tersebut, kata uskun sudah cukup mengisyaratkan Adam sebagai mudzakkar (laki-laki), tetapi diperkuat dengan kata antai[48]yang menunjukkan orang pertama tunggal laki-laki, karena di-athaf-kan kepada kata zaujaka. Dengan demikian kata zaujaka dapat dipastikan sebagai perempuan.
Selanjutnya tentang pengertian Adam yang oleh Riffat Hassan ditafsirkan bukan nama diri, melainkan sebagai istilah generik bagi manusia, nampaknya justru jumhur ulama yang lebih kuat, karena mereka juga mendasarkan pengertiannya pada ayat lain yang memperjelas pengertian Adam. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam  Q.S. al-A’raf [7]: 7 kata Adam dikaitkan dengan kalimat seru, yaa bani Adam yang berarti anak turun Adam (manusia). Munasabah ayat berikutnya adalah kata abawaikum yang berarti kedua orang tuamu yang diturunkan dari surga (Adam dan Hawa). Berarti Adam ini manusia sebagai nama diri. Pada Q.S. Ali Imron [3]: 59 menunjukkan perbandingan penciptaan nabi Isa yang tanpa ayah dengan Adam yang tanpa ayah dan tanpa ibu. Jika kata Adam diartikan spesies manusia, bukan nama diri, maka membandingkan penciptaan nabi Isa dengan manusia secara umum jelas tidak comparible dan tidak logis. Di sinilah terjadi inkosistensi Riffat Hassan dalam menggunakan analisis semantik.
Ketiga, menurut Riffat Hassan, penafsiran akan dinilai benar secara metodologis, jika selaras dengan prinsip-prinsip keadilan. Masalah yang muncul kemudian, apa ukuran keadilan itu? Siapa yang menentukan ukuran keadilan tersebut? Hal ini malah akan menjadikan penafsiran liar. Manusia justru akan menjadi “penguasa” al-Quran, karena akan berpotensi hanya sekedar mengikuti hawa nafsu, atau untuk memperjuangkan kepentingan dunia tertentu, yang hal itu dikategorikan oleh para ahli tafsir sebagai tafsir yang dilarang/dicela[49]. Adil dalam pandangan Riffat Hassan dan para feminis yang lain adalah harus setara 50:50 atau sama rata sama rasa. Padahal, adil dalam Islam adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya[50]. Apa yang diberikan Allah pada laki-laki, tidak harus selalu sama dengan yang diberikan pada perempuan. Pembedaan ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan bias gender.
Adapun metodologi yang telah dibangun oleh ulama, akan mempersempit kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam penafsiran. Hal itu dikarenakan, ketika mau menafsirkan al-Quran, seorang mufassir harus mengikuti prosedur khusus yang disebut dengan hirarki penafsiran. Prosedur tersebut ialah: 1) menafsirkan al-Quran dengan al-Qur’an, karena ketika ada ungkapan yang masih umum dalam satu ayat akan ditafsirkan pada ayat lainnya, 2) menafsirkan dengan  hadits, karena fungsinya sebagai penjelas bagi al-Qur’an, 3) kalau tidak terdapat dalam keduanya, maka mencarinya pada pendapat-pendapat para sahabat, karena mereka menyaksikan al-Qur’an dan situasi ketika turunnya, 4) kalau belum terdapat maka mencarinya dari penjelasan tabi’in, karena secara umum mereka menerima penafsiran dari para sahabat, 5) jika tidak terdapat juga maka mencarinya dengan pendekatan kebahasaan, karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, dan 6) mencari kandungan makna kalam, dan penjelasan sekilas inti syari’at[51]. Tujuannya  adalah untuk menjaga keindahan dan keagungan wahyu[52], serta untuk membatasi kemungkinan adanya penyimpangan dalam menafsirkan al-Qur’an, dan tidak liar seperti hermeneutika yang membuka penafsiran seluas mungkin bagi siapa saja untuk menginterpretasikan teks[53].





NB: Tulisan ini dimuat di inpasonline.com


0 Response to "Kritik atas Teologi Kesetaraan Gender Riffat Hassan (1)"

Posting Komentar

Jangan lupa komen di sini ya :-)