Kritik atas Teologi Kesetaraan Gender Riffat Hassan (2)

-->
Mau baca bagian 1? Klik sini

Oleh: Luqman Hakim

C.    Implikasi Teologi Kesetaraan Gender Riffat Hassan

1.      Penolakan terhadap Hadits Shahih
Dalam membangun epistemologi teologi kesetaraan gender, Riffat Hassan menjadikan al-Quran sebagai pijakan utama, namun dalam beberapa kasus menolak hadits, jika hadits tersebut menurutnya tidak sejalan dengan semangat al-Quran. Ia memposisikan hadits sebagai sumber yang relatif dan dapat diperdebatkan (debatable). Dengan kata lain, hadits tidak begitu saja digunakan tanpa nyaris kritik. Sebab menurutnya, hadits tidak ada jaminan mengenai orisinalitasnya, termasuk hadits-hadits yang tercantum dalam kitab hadits Imam Bukhari Muslim di mana semua ulama sepakat atas keshahihan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh keduanya[1]. Padahal, sebagaimana dikatakan Imam al-Ghazali, jika menafsirkan al-Quran dengan pendekatan linguistik dsb. semata-mata, tanpa menghiraukan keterangan hadits dan riwayat yang shahih, maka hal ini dilarang dan dikecam.[2]
Sebagai contoh Riffat Hassan menolak hadits tentang penciptaan perempuan dari tulang rusuk Adam meskipun riwayat tersebut telah dianggap shahih. Ia mengklaim bahwa hadits tersebut tidak sejalan dengan spirit al-Quran dan karenanya harus ditolak. Ia juga menyatakan bahwa hadits tersebut dha’if karena terdapat rawi (periwayat hadits) yang lemah[3].
Sebenarnya, Riffat Hassan melakukan kecerobohan dalam mengkritik hadits tentang penciptaan perempuan dari tulang rusuk Adam[4] tersebut. Riffat Hassan menyatakan hadits-hadits tersebut dha’if karena ada empat orang perawinya (Maisarah al-Asyja’i, Haramalah ibn Yahya, Zaidah dan Abu Zinad) yang tidak bisa dipercaya. Riffat mendasarkan penilaiannya itu kepada adz-Dzahabi dalam kitabnya Mizan al-I’tidal fi Naqd ar-Rijal, di samping tentu saja ia tidak menyetujui matan hadits-hadits tersebut.
Dalam metodologi Takhrij al-Hadits, jika ada nama perawi yang sama, mestinya seorang peneliti harus meneliti secara cermat, perawi yang mana yang dimaksudkan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara melihat nama murid yang pernah meriwayatkan darinya. Oleh karena itu, secara metodologis penelitian itu dianggap tidak tepat jika hanya melihat nama yang sama, lalu diputuskan begitu saja, bahwa dialah yang dimaksud.[5] Lagipula dalam kritik sanadnya, Riffat Hassan tidak menjelaskan mengapa rawi-rawi itu dianggap tidak tsiqah. Padahal dalam metodologi Jarh wa al-Ta’dil, suatu penilaian mengenai ketidak-tsiqah-an rawi mesti harus dijelaskan, mengapa rawi tersebut dianggap tidak tsiqah[6], karena jika tidak, orang akan gegabah dalam penilaian tersebut.
Setelah diverifikasi ke kitab Mizan al-I’tidal fi Naqd ar-Rijal, perawi-perawi yang dianggap lemah (dhaif) oleh Riffat Hassan sebenarnya sama sekali tidak pernah dinilai lemah oleh al-Dzahabi. Zaidah yang di-dha’if-kan oleh Adz-Dzahabi adalah: (1) Zaidah ibn Salim yang meriwayatkan dari Imran ibn Umair; (2) Zaidah ibn Abi ar-Riqad yang meriwayatkan dari Ziyad an-Numairi; dan (3) Zaidah lain yang meriwiyatkan dari Sa’ad. Zaidah yang terakhir ini di-dha’if-kan oleh Bukhari sendiri. Kalau Bukhari sudah men-dha’if-kan, mustahil dia akan tetap memakainya. Dengan demikian, Zaidah yang dha’if  itu bukan Zaidah yang meriwayatkan dari Maisarah seperti pada Bukhari dan Muslim.[7] Zaidah-nya Bukhari Muslim ini adalah Zaidah ibn Qudamah ats-Tsaqafi, Abu ash-Shalat al-Kufi, meriwayatkan dari dia Ibn al-Mubarak, Abu Usamah dan Husain ibn Ali.[8] Maisarah yang di-dha’if-kan oleh adz-Dzahabi adalah Maisarah ibn ‘Abd rabbih al-Farisi itsumma al-Bashri at-Turasi al-Akkal, seorang pemalsu hadits. Sedangkan Maisarah-nya Bukhari Muslim adalah Maisarah ibn Imarah al-Asyja’i al-Kufi[9], bukan yang di-dhaif-kan oleh adz-Dzahabi. Sedangkan Abu Zinad perawi Bukhari Muslim adalah Abdullah ibn Zakwan yang oleh adz-Dzahabi sendiri dinilai tsiqah Syahrir.[10] Dalam al-Jarh wat-ta’dil ungkapan tsiqah Syahrir termasuk derajat kepercayaan yang tinggi. Begitu juga dengan Haramallah ibn Yahya. Adz-Zahabi sendiri menilainya sebagai salah seorang Imam yang dipercaya (ahadu al-aimmah ats-tsiqat)[11]. Hal ini menunjukkan bahwa Riffat Hassan telah melakukan kecerobohan dalam menilai hadits, sehingga hadits (walaupun setingkat hadits yang diriwayatkan Bukhari Muslim) yang menurutnya tidak sesuai dengan prinsip kesetaran gender harus ditolak.
2.      Implikasi Syariah
a.   Konsep kepemimpinan (qawwam)
   Riffat mengkritik penafsiran ayat-ayat tentang perempuan, di antaranya tentang konsep qawwam yang termaktub dalam surat An-Nisa’ ayat 34. Ia tidak terima karena ia menganggap bahwa hasil penafsiran ulama mengandung bias gender. Bentuk kritiknya adalah mengapa kata qawwamun diartikan sebagai pemimpin atau penguasa; bukan penopang, pelindung atau pencari nafkah?
    Riffat Hassan menyatakan bahwa jika kata qawwamun ditafsirkan sebagai penopang, berarti laki-laki adalah pelindung atau penopang bagi kaum perempuan. Menurutnya, kata qawwamun lebih tepat diartikan sebagai pencari nafkah atau mereka yang menyediakan sarana pendukung kehidupan.[12] Dari penafsiran ini, Riffat Hassan beranggapan bahwa qawwamah tidak dapat diperoleh secara otomatis dan bersifat mutlak, melainkan bersyarat. Syarat untuk menjadi qawwam tersebut adalah dengan menjadi penopang, pelindung, atau pencari nafkah.
    Oleh karena itu, bagi Riffat Hassan ayat 34 surat An-Nisa’ tersebut mestinya tidak sepenuhnya dijadikan legitimasi dan justifikasi bahwa perempuan subordinat di bawah lelaki. Tapi lebih merupakan statement normatif yang menyangkut konsep Islam tentang pembagian kerja dalam sebuah struktur keluarga dan masyarakat. Artinya, secara ideal mestinya laki-laki harus menjadi pencari nafkah, bertanggung jawab mengenai nafkah keluarga, mengingat beban berat yang harus dipikul perempuan, sebab mereka mesti melahirkan anak, menyusui, merawat dan membesarkannya. Oleh karenanya, perempuan tidak harus dibebani mencari nafkah dalam waktu yang bersamaan.[13]
   Kata qawwamun itu sendiri menurut Riffat merupakan pernyataan Al-Qur’an yang menunjukkan pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Pembagian tersebut bertujuan untuk menciptakan dan mempertahankan keseimbangan dalam kehidupan masyarakat. Dalam pembagian tersebut, kaum laki-laki bertugas mencari nafkah karena mereka tidak berkewajiban melahirkan anak. Pendek kata, laki-laki berfungsi produktif sedangkan perempuan reproduktif. Kedua fungsi ini memang terpisah namun saling melengkapi untuk menciptakan harmoni. Sehingga, menurut Riffat Hassan, di antara keduanya juga tidak ada yang lebih tinggi atau rendah.
Hal ini menunjukkan bahwa Riffat Hassan tidak menginginkan adanya konsep kepemimpinan dalam keluarga. Karena kalau konsep kepemimpinan ada, maka laki-lakilah yang menjadi pemimpin dan perempuan adalah pihak yang dipimpin. Ia tidak menginginkan hal ini karena hal ini menunjukkan perempuan berada di bawah perempuan dan menunjukkan tidak ada kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan.
  Pandangan Riffat Hassan ini bertentangan dengan para mufassir yang telah diakui kredibilitasnya. Sebutlah misalnya Az-Zamahsyari dalam Al-Kasysyaf ‘an haqaaiq at-Tanzil wa ‘Uyun al-‘Aqawil[14], Ibnu  Katsir dalam Tafsisr al-Qur’an al-Adzim[15], dan Al-Alusi dalam Ruhul Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al- Adzim was-Sab’il matsani[16]yang menafsirkan bahwa kata qowwam dalam An-Nisa’ ayat 34 tersebut bermakna pemimpin, sebagaimana wali/khalifah sebagai pemimpin bagi rakyatnya. Jadi bisa disimpulkan bahwa suami (laki-laki) adalah pemimpin bagi istrinya. Kepemimpinan suami ini lebih jelas lagi kalau dicermati bagian akhir ayat yang dibahas, yang menggunakan kata taat: Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Penggunaan kata “taat” menunjukkan hubungan suami dengan istri bersifat struktural. Kalau tidak struktural, kata yang digunakan tentu bukan menaati, melainkan menyetujui, menerima pendapatmu, dan yang sejenisnya. [17] 

b.   Konsep Jilbab
  Dalam pandangan Riffat, masalah jilbab (purdah) sebenarnya merupakan masalah yang cukup kompleks. Menurutnya, munculnya konsep jilbab bermula dari adanya suatu sistem pembagian dua wilayah dalam masyarakat Islam, wilayah privat yaitu rumah, dan wilayah umum yaitu tempat kerja. Perempuan berada di wilayah privat, sedangkan laki-laki di wilayah umum. Menurut asumsi masyarakat umum masyarakat Islam, selama masing-masing pihak tetap berada di tempatnya, semuanya akan beres dan aman. Ini berarti sistem pemisahan atau pemencilan segresi (segregation system). Menurut pandangan umum masyarakat Islam, kedua jenis kelamin itu harus dipisahkan dan pengaturan semacam ini dianggap paling tepat dan paling baik. [18]
  Setelah Riffat Hassan menjelaskan asumsi umum masyarakat Islam, dia lalu mencoba bagaimana pandangan al-Quran tentang hal itu. Menurutnya, ideal moral yang dikehendaki al-Quran sebenarnya adalah prinsip kesahajaan. Al-Quran sangat menekankan bahwa perempuan harus bersahaja, bukan saja dalam berpakaian tetapi juga dalam berbicara, berjalan, bertingkah laku, dan lain sebagainya. Prinsip semacam ini menurutnya juga dianjurkan kepada laki-laki, meskipun selanjutnya hal itu lebih banyak ditujukan kepada perempuan.[19]Jika dalam praktiknya prinsip kesahajaan itu hanya ditekankan pada perempuan, hal itu tidak diinginkan oleh Riffat Hassan karena akan menjadi bias gender. Sebab pandangan tersebut terkesan masih diskriminatif. Seakan-akan perempuan yang dipojokkan dalam masalah ini dan tubuh mereka seakan-akan dipandang sebagai sumber fitnah bagi kaum laki-laki.
  Menurutnya, dalam masyarakat patriarki perempuan selalu menjadi objek seks. Maka al-Quran kemudian memerintahkan kepada perempuan agar tidak berpakaian dan bertingkah laku seperti objek seks, supaya orang tidak menuduhya bahwa ia ingin diperlakukan sebagai objek seks. Dalam konteks seperti itulah, menurutnya, maka Nabi Saw. disuruh memerintahkan istri-istrinya dan kaum perempuan yang beriman, ketika akan meninggalkan rumah agar memakai jilbab, supaya dianggap perempuan shaleh dan tidak diganggu. [20]
  Dalam hal ini, Riffat Hassan melakukan kontekstualisasi konsep jilbab yang tertera dalam al-Quran surat al-Ahzab ayat 59[21], dengan mengambil sisi ideal moralnya, dan tidak ingin terjebak pada legal formalnya. Menurutnya, ideal moral dari pemakaian jilbab adalah agar perempuan tidak diganggu dan terhormat. Oleh karena itu, menurutnya, jilbab dapat diartikan sebagai pakaian yang menurut kepantasan setempat dan menjadikan perempuan dihormati kemanusiannya.
  Cara penafsiran seperti ini akan liar, karena kalau jilbab diartikan sebagai pakaian yang menurut kepantasan setempat, maka aka ada perbedaan  di masing-masing bentuk pakaiannya. Bahkan, walaupun wanita membuka auratnya di depan umum jika sesuai dengan rasa kepantasan di suatu tempat bisa diperbolehkan. Tentu hal ini akan menjadikan hukum Islam berubah, dari yang yang haram menjadi halal.

B.     Hubungan Keserasian Perempuan dan Laki-laki dalam Islam

Dalam mengusung konsep kesetaraan gender, sebagaimana kaum feminis[22] yang lain, Riffat Hassan berkiblat kepada Barat.  Ia memandang bahwa kesetaraan gender harus harus sama (fifty-fifty), baik domestik maupun publik. Padahal, apabila kesetaraan diartikan bahwa segala sesuatu harus sama (50/50), maka akan didapati ayat-ayat al-Qur’an yang nantinya dimaknai diskriminatif terhadap kaum perempuan. Makanya ia dan kaum feminis lainnya tidak terima kalau ada penafsiran beberapa ayat al-Quran yang cenderung menganggap laki-laki dan perempuan tidak setara[23] sekalipun yang menafsirkan adalah para mufassir yang telah diakui kredibilitasnya. Terlebih lagi kesetaraan gender yang disuarakan oleh Riffat Hassan dan kaum feminis lainnya merupakan ideologi Marxis, yang menempatkan perempuan sebagai tertindas dan laki-laki sebagai penindas. Dengan ideologi yang demikian, kaum feminis muslim akan terus-menerus mencoba menggali dasar-dasar Islam tidak dengan cita-cita Islam, melainkan cita-cita yang dibangun atas kepentingan kaum feminis sendiri.[24]
Ratna Megawangi dalam bukunya Membiarkan Berbeda menyatakan bahwa ketimpangan harus dibedakan dengan diferensiasi. Diferensiasi dalam peran, status dan bakat perlu dilihat sebagai jenis-jenis berbeda yang tidak dapat dibandingkan secara kuantitatif. Maka, diferensiasi peran pria dan wanita yang bersumber dari keragaman alami, harus dilihat sebagai “simply another mode of being”. Oleh karena itu, ia memandang bahwa perbandingan kuantitatif antara pria dan wanita , atau ukuran kesetaraan gender yang 50/50, perlu dihilangkan sebisa mungkin.[25]
Maka dari itu, istilah yang tepat dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah keserasian gender, bukan kesetaraan gender (50/50). Artinya, walaupun antara laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan, maka perbedaan tersebut adalah fitrah masing-masing, yang menegaskan bahwa antara yang satu dan yang lainnya ada saling keterkaitan dan saling melengkapi. Keserasian tersebut dibangun di atas syari’at, bersandar pada asas saling melengkapi satu sama lainnya, bukan perlawanan, serta kerjasama yang tidak mengandung persaingan.


C.    Kesimpulan

   Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa konstruksi teologi kesetaraan gender yang dibangun Riffat Hassan hanyalah mengadopsi konsep teologi feminisme yang berkembang di Barat. Padahal berbeda dengan perempuan di Barat yang memiliki sejarah yang kelam  lantaran perempuan dipandang hina dan diperlakukan secara diskriminatif, dalam Islam perempuan justru dimuliakan. Kedatangan Islam telah mengeliminasi adat-istiadat jahiliyah yang merugikan kaum perempuan serta mengangkat  harkat dan martabat mereka. Kalau subordinasi terhadap perempuan di Barat mendapatkan legitimasi  dari Bible, dalam al-Quran perempuan justru dimuliakan.
Dalam membangun teologi kesetaraan gender, Riffat Hassan melakukan 3 langkah, yaitu (1) pendekatan normatif-idealis dan historis-empiris, (2) melakukan dekonstruksi pemikiran keagamaan yang (menurutnya) bias gender , dan (3) melakukan rekonstruksi pemikiran keagamaan yang (menurutnya) tidak bias gender. Dalam usaha konstruksi teologi kesetaraan gender ini, Riffat Hassan justru terbukti cendrung melakukan bias gender, padahal dia menuduh para mufassir yang bias gender. Selain itu, ada beberapa implikasi yang ditimbulkan darinya, yaitu adanya penolakan terhadap shahih dan terdapat implikasi syariah yang merubah hukum Islam.
Adapun dalam Islam, hubungan antara laki-laki dan perempuan yang benar adalah keserasian gender, bukan kesetaraan gender. Artinya, walaupun antara laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan, maka perbedaan tersebut adalah fitrah masing-masing, yang menegaskan bahwa antara yang satu dan yang lainnya memiliki hubungan saling keterkaitan dan saling melengkapi. Keserasian tersebut dibangun di atas syari’at, bersandar pada asas saling melengkapi satu sama lainnya, bukan perlawanan, serta kerjasama yang tidak mengandung persaingan. Wallahua’lam.





Daftar Pustaka
Abdullah, Amin, Neo Ushul Fiqih Menuju Ijtihad Kontekstual, Yogyakarta: Fakultas Syari'ah Press dan Forum Studi Hukum Islam, 2004
Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Usman al-Zahabi, Mizan al-I’tidal fi Naqd ar-Rijal, Beirut: Dar al-Fikri, t.t.
Abdurrahman, Khalid,  Ushul At-Tafsir wa Qawaiduh, Beirut : Dar An-Nafais. 1986
Adz-Dzahabi, Muhammad Husain, at-Tafsir wa al-Mufassirun, (airo: Daar al-kutub al-Haditsah, 1976
Armas, Adnin, Tafsir Al-Qur’an atau Hermenutika Al-Qur’an dalam Jurnal Islamia. Thn. I. No.I
Al-Alusi,  Syihabuddin Mahmud  ibn Abdillah al-Husaini, Ruhul Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al- Adzim was-Sab’il matsani, , Beirut: Daar  al-Fikr, t.t
Al-Asqalani, Ibn Hajar, Tahdzib at-Tahdzib, Beirut: Dar al-Fikr, 1984
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993
Al-Baghdadi, Muhammad At-Tamimi, Ushuluddin, Beirut: Darul Kutub, 2002
Al-Faruqi, Isma’il Raji, Al Tawhid: Its Implications for Thought and Life, USA: International Institute of Islamic Thought, 1992
Al-Ghazali, Imam, Ihya’ Ulumuddin, Kairo: Daar al-Ma’arif, 1967
Al-Qattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, penterj.Mudzakir AS, Jakarta: PT. Pustaka Litera Antar Nusa dan Halim Jaya, 2007
Al-Suyuthi, Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin, Tafsri al-Quran al-‘Adzim, Semarang: Maktabah Usaha Keluarga, t.t
Al-Twaijri, Muhammad bin Ibrahim, Ushuluddin al Islami, Riyad: Darul ‘Ashimah, 1414 H
Al-Zahabi, Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Usman, Mizan al-I’tidal fi Naqd ar-Rijal,(Beirut: Dar al-Fikri, t.t.
Az-Zamahsyari, Al-Kasysyaf ‘an haqaaiq at-Tanzil wa ‘Uyun al-‘Aqawil, Beirut: Daar Al-Fikr, 1988
Baidhawy, Zakiudidin, Wacana Teologi Feminis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997
Clarkson, J. Shannon dan Letty M. Russell, Dictionary of Feminist Theology, Kentucky: Westmister John Knox Press, 1996
Dzuhayatin, Siti Ruhaini dkk, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam,Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, McGill-ICIHEP, dan Pustaka Pelajar, 2002
Eolson, Roger dan  Stanley J. Grenz, Twentieth-century theology: god and the world in a transitional age, USA: inter varsity press, 1992
Fakih, Mansour, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999
Fathullah, Amal, Ilm kalam,ponorogo: Darussalam, 2004
 Ghanaim, Muhammad Nabil, Dirasat fi at-Tafsir, Kairo:  Darul Hidayah, 1987
 Ghozali, Abdul Malik, Jasa Perawi Wanita, dalam majalah Gontor edisi 11 tahun VII April 2010
Hassan, Riffat, Women’s and Men’s Liberation, (New York: Greenwood Press, 1991)
                         ,  Rights of Women: Muslim Practice Versus Normative Islam, makalah yang disampaikan dalam  workshop dengan “Women in Islam”, disponsori oleh  the international planned Parenthood Federation yang diselenggarakan di Tunis pada Juli 1995
                          , Feminisme dan al-Quran: percakapan dengan Riffat Hassan”, dalam jurnal  Ulumul Quran Vol II, tahun 1990
                           , “Women’s Interpretation of Islam”, dalam Hans Thijsen (ed.), Women and Islam in Muslim Society,  (Hague: Ministry of Foreign Affairs, 1994
                          , Women, Religion, and Sexuality, Study of Impact of Religious Teaching on Women, Philadelphia: Trinity Press, t.t.
                              dan Fatimah Mernissi, Setara di Hadapan Allah: Relasi laki-laki dan Perempuan dalam Tradisi  Islam Patriarki, Yogyakarta: LSPA Yayasan Prakarsa, 1995
Hawwa, Sa’id, Mensucikan Jiwa-Intisari Ihya’ Ulumddin, Jakarta: Robbani Press, 2001
Hillar, Marian, Liberation Theology, Houston: American Humanist Assosiation, 1993
Ibnu Katsir, Abu al-Fida’ Isma’il bin Umar ad Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, t.t.p., Daarun thoyyibah:1999 M/ 1420 H
Imarah, Muhammad, Meluruskan salah paham Barat atas Islam, terj. Al-Gharb wa al-Islam: Aina al-khatta’ wa Aina al-Shawab,  Yogyakarta: Sajadah Press, 2007
Ismail, Nurjannah, Perempuan dalam Pasungan, Yogyakarta: LKiS, 2003
Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, Vol. III No. 5
Lowy, Michael, Teologi Pembebasan, pent: Roem Topatimasang, Yogyakarta: Insist Press bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, cet. 3,  2003
Megawangi, Ratna, Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi,Bandung:  Mizan 1999
Mustaqim, Abdul, Paradigma Tafsir Feminis, Membaca al-Quran dengan Optik Perempuan: Studi Pemikiran Riffat Hassan tentang Isu Gender dalam Islam, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2008
Parsons, Susan Frank, The Cambridge companion to feminist theology, Cambridge: Cambridge University Press, 2002
Ruether, Rosemary Redford, Sexism and God-Talk: Toward A Feminist Theology, Boston: Beacon Press, 1983
Sibawaihi, Hermeneutika Al-Quran Fazlur Rahman, Yogyakarta: Jalasutra, 2007
Thahhan, Mahmud, Ushul al-Takhrij wa Dirasatul Asanid, Beirut: Dar al-Quran al-Karim, 1979
Trible, Phyllis et.al, Feminist Approach to the Bible, Washington, DC: Biblical Archaelogy Society, 1995
Wadud, Amina ,Quran Menurut Perempuan, pent. Abdullah Ali, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006




[1] Hassan, The Issue of Woman-Man Equality in the Islamic Tradition, 65-66
[2] Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, (Kairo: Daar al-Ma’arif, 1967 ), h. 378-383
[3] Riffat Hassan, Women’s Right and Islam from the ICPD to Beijing, h. 11
[4] Hadits tersebut adalah:
  حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ وَمُوسَى بْنُ حِزَامٍ قَالَا حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ زَائِدَةَ عَنْ مَيْسَرَةَ الْأَشْجَعِيِّ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ
Artinya:
Bercerita kepada kami Abu Kuraib dan Musa bin Hizam, berkata mereka: bercerita kepada kami Husain bin ‘Ali dan Zaidah dari Maysaroh al-Asyja’I dari Abu Hazim dari Abu Hurairah berkata: berkata rasulullah SAW: “Berwasiatlah kepada perempuan dengan cara yang baik, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan sesungguhnya bagian tulang rusuk yang paling bengkok ialah bagian atasnya. Jika engkau hendak meluruskannya, dia akan patah; dan jika engkau membiarkannya, dia akan tetap bengkok. Maka berwasiatlah kepada perempuan dengan cara yang baik” (HR. Bukhari no. 3084)

[5] Mahmud Thahhan, Ushul al-Takhrij wa Dirasatul Asanid,  (Beirut: Dar al-Quran al-Karim, 1979), h. 208-232
[6] Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Usman al-Zahabi, Mizan al-I’tidal fi Naqd ar-Rijal, (Beirut: Dar al-Fikri, t.t.), jilid II, h. 161
[7] Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Usman al-Zahabi, Mizan al-I’tidal fi Naqd ar-Rijal, h. 64-65
[8] Ibn hajar al-Asqalani, Tahdzib at-Tahdzib, (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), Jilid III, h. 264
[9] Ibn hajar al-Asqalani, Tahdzib at-Tahdzib, jilid IV, h. 230
[10] Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Usman al-Zahabi, Mizan al-I’tidal fi Naqd ar-Rijal, (Beirut: Daar al-Fikr, t.t),  h. 418
[11] Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Usman al-Zahabi, Mizan al-I’tidal fi Naqd ar-Rijal, h. 472
[12] Riffat Hassan, Women’s Right in Islam, h. 130
[13] Riffat Hassan, Women’s Right and Islam from The ICPD to Beijing, h. 79
[14] Lihat Az-Zamahsyari, Al-Kasysyaf ‘an haqaaiq at-Tanzil wa ‘Uyun al-‘Aqawil, (Beirut: Daar Al-Fikr, 1988), JIlid I,  h. 523
[15]Lihat Abu al-Fida’ Isma’il bin Umar bin Katsir al-Qursyi ad Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (t.t.p: Daarun thoyyibah1999 M/ 1420 H), Jilid II, h. 292
[16] Lihat Syihabuddin Mahmud  ibn Abdillah al-Husaini al-Alusi,  Ruhul Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al- Adzim was-Sab’il matsani,( Beirut: Daar  al-Fikr, t.t), h. 41.
[17]Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan, (Yogyakarta: LKiS, 2003), h. 276

[18] Riffat Hassan, Women, Religion, and Sexuality, Study of Impact of Religious Teaching on Women (Philadelphia: Trinity Press, t.th.), h. 121
[19] Riffat Hassan, Feminisme dan al-Quran: percakapan dengan Riffat Hassan”, dalam jurnal  Ulumul Quran Vol II, tahun 1990, h. 87
[20] Riffat Hassan, Feminisme dan al-Quran, h. 89
[21] Bunyi ayat tersebut adalah:   
ياأيها النبي قل لأزواجك وبناتك ونساء المؤمنين يدنين عليهن من جلبيبهن ذلك أدنى أن يعرفن فلا يؤذين وكان الله غفورارحيما  (الأحزاب:59)
   Artinya:”Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”(Al-Ahzab: 59)
[22] Kaum feminis selain Riffat Hasan adalah seperti Amina Wadud, Fatima Mernissi, dan Asghar Ali Engeneer
[23]Isu-isu yang sering diangkat oleh para feminis ialah beberapa ayat-ayat al-Quran yang  menurut mereka sering dijadikan argumen oleh kaum muslimin selama ini bahwa laki-laki dan perempuan tidak setara,  seperti perempuan diciptakan dari laki-laki (QS. An-Nisa’: 1), laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan (QS. An-Nisa’: 34), warisan laki-laki dua kali lipat daripada perempuan (QS. An-Nisa’: 11), serta kesaksian satu orang laki-laki sama dengan dua orang perempuan (QS. Al-Baqarah: ).
[24] Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda, h.  150-157
[25] Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda, h. 227



NB: Tulisan ini dimuat di inpasonline.com

1 Response to "Kritik atas Teologi Kesetaraan Gender Riffat Hassan (2)"

  1. menarik untuk di kaji walau kadang ada yang sedikit perlu di pelajari secara mendalam, bahwa argumen tidak hanya dari satu orang,, namun bnyak ulama

    BalasHapus

Jangan lupa komen di sini ya :-)