Buah Keyakinan Terhadap Pertolongan Allah

            Pagi yang cerah. Mentari memancarkan sinarnya dengan ceria, menyapa penduduk bumi yang mulai bergerak melaksanakan aktivitasnya masing-masing. Burung-burung berkicau dengan merdu, memberikan semangat pada manusia-manusia yang masih malas memulai aktivitas. Tidak mau kalah, ayam jantan pun berkokok dengan suara terbaik, ikut memotivasi orang-orang yang terlena akan indahnya pagi.
   
    Pagi itu, ku berangkat sekolah dengan penuh semangat. Hatiku merasa nyaman dan tenteram, seakan-akan aku berada di padang rumput yang sangat luas. Pikiranku juga terasa segar, seolah baru saja disirami air es. Sungguh karunia yang teramat besar dari Sang Pencipta. Ku yakin, ini pengaruh sholat dhuha dan tahajjud yang aku tunaikan pada pagi itu.
             Dengan berjalan santai, kuayunkan kaki ini setapak demi setapak ke arah sekolah tercinta. Ku melangkah dengan penuh semangat, layaknya seorang mujahid yang sedang melangkah menuju medan pertempuran. Ku melangkah lurus, tatapanku tajam. Sudah tak sabar ku cepat sampai di sekolah. 

          Hari itu merupakan hari bersejarah bagiku. Hari itu adalah pertarungan untuk menentukan masa depanku. Masa depan gemilang yang diimpikan oleh semua insan. 


           Namun sebenarnya, ia bukan hanya bersejarah bagiku. Ia juga bersejarah bagi seluruh siswa SMA di Indonesia yang duduk di bangku kelas tiga. Ya, hari itu adalah hari pertama Ujian Nasional (UN) digelar. Bagi kami, hari itu dan dua hari berikutnya, merupakan waktu-waktu yang sangat menentukan. Lulus, atau tidak lulus. Itulah dua kata yang harus kita pertaruhkan.



          Tidak lama berselang, aku pun tiba di sekolah. Ternyata kulihat teman-teman sudah banyak yang berdatangan. Mereka sudah mengambil posisinya masing-masing. Ada yang duduk rapi di atas kursi dengan peralatan alat tulis, namun ada juga yang masih ngobrol ringan di luar kelas. Aku pun lebih memilih bergabung dengan teman-teman yang sedang ngobrol untuk lebih menenangkan diri, karena memang waktu itu suasana kelas terasa menegangkan.


          Dari ngobrol ringan itulah, aku mendapat informasi yang cukup mengejutkan. Ternyata banyak dari teman-teman yang membuat “konspirasi” agar bisa lulus. Mereka secara diam-diam berencana untuk bekerja sama saling menukar jawaban. Bahkan, mereka telah sepakat membawa Handphone (HP) agar memuluskan rencana mereka. 


             Yang lebih mengejutkan lagi, di antara mereka ada orang-orang yang prestasinya terbilang bagus. Mereka termasuk para bintang kelas. Namun mengapa mereka dalam hal ini tidak pede? Padahal, biasanya mereka selalu mengerjakan sendiri. Bahkan, mereka biasanya menjadi “rujukan” bagi teman-teman yang lain. 


      Mengetahui hal itu, aku pun sedikit down. Semangatku mulai turun. Keraguan muncul dalam hatiku.
     
         Apa aku bisa lulus tanpa minta bantuan sama teman? Mereka saja yang sudah pintar masih butuh ‘kerja sama’.
        Bagaimana nasibku jika nanti aku tidak lulus? Mau ditaruh di mana mukaku nanti? Bagaiman masa depanku kelak?


                Tiba-tiba saja, pertanyaan-pertanyaan itu bermunculan di kepala. Rasa pesimis tiba-tiba datang menyerang. Padahal, aku berkeinginan jujur dalam ujian ini. 


               Namun setelah itu, aku berusaha bertahan. Ku mengumpulkan argumen-argumen yang bisa menguatkanku. 


               Aku tidak boleh ikut mereka. Ya, tidak boleh. Aku memang bukan tergolong anak pintar. Namun dari awal, bukankah aku telah berazzam agar dalam UN ini aku mengerjakan sendiri, tanpa minta bantuan teman. 


               Bukankah diriku telah berusaha belajar dengan serius sejak sekolah mengadakan bimbingan khusus (Bimsus) untuk kelas tiga. Hampir setiap hari aku belajar, siang dan malam. Jadi sayang kalau ternyata ketika ujian aku malah tidak jujur.


      Bukankah aku juga telah berdoa kepada Allah, agar aku dimudahkan oleh-Nya dalam mengerjakan soal-soal UN.


            Lebih jauh lagi, bukankah ku telah mendapat wejangan dari salah seorang ustadz jauh hari sebelumnya. Beliau mengatakan bahwa nyontek atau ngerepek adalah perbuatan haram dan dibenci Allah. Bahkan kata ustadz, kalau kita melakukan perbuatan tersebut maka kita tidak akan diakui sebagai golongan nabi Muhammad. Hal itu dikarenakan, nyontek atau ngerepek termasuk perbuatan menipu (curang). Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang berbuat curang (menipu), maka dia bukan golongan kami” (al-hadits).


Kalau bukan golongan nabi, maka ikut golongan siapa?” Begitu ustadz menjelaskan.


           Rasa optimisku akhirnya kembali pulih. Pesimis yang tadi datang menyerang bergerak mundur teratur. Rasa takut yang tiba-tiba muncul kembali menghilang.


           Aku pun yakin, bahwa sikapku ini sudah benar. Aku tidak mau mencontek ataupun ngerepek. Aku yakin, bahwa Allah akan menolongku.


       Bel pun berbunyi menunjukkan ujian akan dimulai. Aku dan teman-teman yang masih berada di luar kelas segera menuju ke tempat duduk masing-masing. Sebelum ujian dimulai, pengawas memberikan waktu kepada kami untuk berdoa. Aku pun tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku berdoa kepada Allah, agar Dia memudahkan urusanku.

      “Ya Allah….hamba makhluk lemah. Engkaulah yang Maha Kuat ya Allah…..hamba bodoh, tidak tahu apa-apa…Engkaulah yang Maha Mengetahui….Sungguh, hamba tidak punya kekuatan apa-apa…hamba hanya akan bisa lulus dengan pertolongan yang Engkau berikan…..ya Allah…permudahkanlah urusan hamba ya Allah…Jadikanlah hamba termasuk siswa yang lulus ujian Nasional ini ya Allah…

        Usai berdoa, aku pun mulai mengerjakan soal-soal yang tertera di lembar soal. Soal demi soal aku baca dengan perlahan. Setiap ku beralih dari satu soal ke soal lainnya ku membaca basmalah. Hal itu bertujuan, agar Allah selalu menolongku. 


          Aku pun berusaha fokus, tidak menoleh ke kanan dan ke kiri. Namun tiba-tiba, ada suara yang memangil namaku. Aku pun menoleh ke asal suara. Ternyata Ahmad (nama samaran) yang memanggilku. “hei…nomor berapa yang tidak tahu?”, katanya pelan agar tidak didengar pengawas. Ahmad kayaknya merasa kasihan padaku. Dia memang dekat denganku. Mungkin dia khawatir aku tidak akan lulus, makanya dia ingin membantuku. Sambil tersenyum aku memberi isyarat dengan gelengan kepala. “Bener?”, lanjutnya belum yakin. Aku menganggukkan kepala, meyakinkan dia bahwa aku tidak butuh “bantuan” darinya.
            Ya Allah…..betapa tidak mudah untuk jujur. Banyak godaan yang menerjang. Setelah satu godaan selesai, datang godaan berikutnya. Berilah hamba kekuatan.


       Singkat cerita, UN pun usai dan telah tiba hari pengumuman kelulusan. Aku sudah tidak sabar menanti. 


          Akhirnya, aku pun mendapat amplop dari guru. Di dalamnya berisi keterangan apakah aku lulus atau tidak. Dengan perlahan-lahan aku buka amplop itu sambil membaca basmalah. Dan ternyata….AKU LULUS


      Subahanallah….Alhamdulillah ya Allah..…..Ternyata aku lulus. Sungguh aku bahagia. Dan, yang lebih membahagianku, nilaiku ternyata di atas 8. Subhanallah……sungguh aku tidak menyangka sama sekali. Allah memang maha penolong. Allah menunjukkan kemahabesaran-Nya kepadaku.


        Sejak saat itu aku berkesimpulan, asal kita berusaha dengan sungguh-sungguh, lalu berdoa kepada Allah, dan yakin bahwa Allah akan membantu. Maka Allah akan benar-benar membantu.


       Semoga cerita ini menjadikan kita lebih yakin akan pertolongan Allah yang akan datang tatkala kita bersungguh-sungguh berdoa kepada-Nya.





0 Response to "Buah Keyakinan Terhadap Pertolongan Allah"

Posting Komentar

Jangan lupa komen di sini ya :-)