Tiga Batu

Tiga Batu
Nabi Saw hendak menunaikan hajat. Beliau pun menyuruh Abdullah bin Mas’ud untuk mengambilkan tiga batu.

 Ibnu Mas’ud hanya mendapatkan dua batu. Dia sudah berusaha mencari batu yang ketiga, akan tetapi  tidak menemukannya.

Dia kemudian mengambil kotoran (kotoran kuda atau keledai) dan membawanya kepada Rasulullah Saw.

Nabi Saw hanya mengambil yang dua batu dan membuang kotoran yang dibawa Ibnu Mas’ud.

Beliau bersabda, “Ini adalah benda najis” (HR. Bukhori)

Seperti inilah nabi mengajari kita untuk mencari alat bersuci yang suci. Beliau juga memberikan kita petunjuk untuk menjaga kesucian kita.

Maka dari itulah hendaknya kita lebih memilih air yang suci atau alat bersuci lainnya yang zatnya suci agar bisa membersihkan dan menyucikan sesudah menunaikan hajat.

Hendaknya kita tidak menyepelekan hal ini hingga kita memperoleh kesehatan dan keselamatan, serta menjauhkan diri kita dari apapun yang menyebabkan kita ditimpa penyakit.

Oleh karena itu, kita hendaknya meniru nabi Saw dalam tingkah laku maupun perbuatan sehari-hari.




NB: terjemahan dari kitab silsilatul adab pada  bab “Adab dalam Bersuci ” dengan sub judul  “al-Ahjar ats-Tsalaatsatu”





Surabaya, 27 November 2016




Seorang Muslim tidak Najis

Seorang Muslim tidak Najis
Pada suatu hari, Abu Hurairah RA bertemu Rasulullah Saw pada salah satu jalan di Madinah. Waktu itu Abu Hurairah RA sedang junub. Karena itu, ia berusaha bersembunyi dari Rasul. ia pun mandi junub dan kemudian pergi menemui Rasul. 

Nabi Saw bertanya kepadanya, “Kamu dari mana saja wahai Abu Hurairah?”.

Abu Hurairah RA menjawab, “(Tadi) saya junub. Saya merasa sungkan duduk bersama engkau sedangkan kondisi saya tidak suci”.

Nabi Saw kemudian bersabda, “Subhanallah! Sesungguhnya seorang muslim tidaklah najis” (HR. Bukhari).

Dengan bersabda seperti itu, nabi Saw bermaksud memberikan pemahaman bahwa ada suci maknawi dan ada suci lahiriah. Yang dimaksud suci maknawi adalah iman. Seorang muslim memiliki iman, oleh karena itu dia adalah orang yang suci secara maknawi walaupun dia berada dalam kondisi junub dan belum mandi wajib atau belum berwudhu’.

Adapun orang yang tidak beriman, maka dialah orang yang najis. Sedangkan seorang mukmin – walaupun secara lahiriah dia tidak suci – sesungguhnya dia tidaklah najis.


NB: terjemahan dari kitab silsilatul adab pada  bab “Adab dalam Bersuci ” dengan sub judul  “Al-Muslimu Laa yanjasu”




Surabaya, 23 November 2016

Pelajaran dari Rasul

Pelajaran dari Rasul
Pada suatu hari dilaksanakan shalat di masjid Rasulullah Saw. Kaum muslimin berdiri dalam barisan yang rapi dan lurus, menunggu Rasulullah Saw untuk shalat bersama mereka.

 Rasulullah Saw kemudian datang dan berdiri untuk shalat. Beliau pun ingat bahwa beliau sedang junub.

 Beliau pun bersabda, “Tetaplah di tempat kalian”. Kemudian Rasul pergi untuk mandi junub. Lalu kembali lagi ke masjid dalam keadaan rambutnya basah, terlihat air yang menetes di atas kepalanya.

Rasulullah Saw kemudian bertakbir dan shalat bersama kaum muslimin (HR. Bukhari).

Dengan cara ini, Rasulullah Saw memberikan contoh yang agung mengenai apa yang harus dilakukan oleh kaum muslimin ketika sudah bersiap-siap shalat lalu ingat bahwa dia sedang junub atau belum berwudhu’. 

Maka hendaknya dia tidak perlu merasa malu, bermalas-malasan, ataupun ragu untuk pergi mandi junub dan bersuci.

Sebab, shalat adalah penghubung antara hamba dengan Tuhannya. Maka wajib bagi seorang hamba berada dalam kondisi sudah berwudhu’ dan suci, sedang dia berdiri di hadapan tuhannya untuk menyembah-Nya dan meminta keselamatan pada-Nya.

Apabila hal ini dilakukan oleh seorang mukmin maka hal ini menunjukkan ketinggian imannya dan kesungguhannya dalam mencontoh nabi Saw.



NB: terjemahan dari kitab silsilatul adab pada  bab “Adab dalam Bersuci ” dengan sub judul  “Duruusun minar Rasuuli”


Surabaya, 9 Juni 2016

Suci saat Menunaikan Haji

Suci saat Menunaikan Haji
Rasulullah Saw dan kaum muslimin keluar dari Madinah guna menunaikan kewajiban haji di Mekah. 

Di tengah perjalanan, Aisyah RA mengalami haid. Ia pun menangis, karena tidak mungkin bagi dia melakukan manasik haji. 

Rasulullah Saw kemudian menemuinya sedangkan ia dalam keadaan menangis. 

Rasulullah Saw bertanya, “Apa yang terjadi padamu, apakah kamu haid?”

Aisyah RA menjawab, “Iya”.

Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya hal itu adalah sebuah ketetapan dari Allah atas semua perempuan. Lakukanlah apa yang mesti dilakukan saat berhaji kecuali thawaf di ka’bah sampai kamu berada dalam kondisi suci” (HR. Bukhari).

Dalam hal ini, Rasulullah Saw meringankan kaum wanita dalam pelaksanaan manasik haji. 

Hendaknya  perempuan tetap melakukan haji tanpa perlu merasa takut dan sedih ketika masa haid datang, karena hal itu bukanlah penghalang untuk melakukan kewajiban haji selain thawaf di ka’bah sebab dalam rangka menjaga kesucian baitul haram.

 Maka dengan itu thawaf perempuan ditunda sampai berada dalam kondisi suci.


NB: terjemahan dari kitab silsilatul adab pada  bab “Adab dalam Bersuci ” dengan sub judul  “At-Thahaaratu fil Hajji”


Surabaya, 9 Juni 2016

Tayammum

Tayammum
Dua orang laki-lai sedang melakukan sebuah perjalanan. Kemudian tibalah waktu shalat sedangkan mereka tidak memiliki air untuk melakukan wudhu’. Mereka pun bertayammum dan shalat.

 Tidak berapa lama kemudian, mereka menemukan air. Salah satu dari mereka berwudhu’ dengan air tersebut dan mengulang shalatnya, sedangkan yang lain tidak mengulangi.

Tatkala keduanya datang menghadap nabi, mereka menyebutkan apa yang terjadi.

 Nabi Saw bersabda kepada orang yang tidak mengulangi shalatnya, “Kamu sudah melakukan sunnah dan shalatmu mendapat balasan pahala”. Beliau juga bersabda kepada orang yang berwudhu’ dengan air dan mengulang shalatnya, “Kamu mendapatkan dua pahala” (HR. Abu Daud).

Dari ketentuan yang indah ini menjadi jelaslah bagi kita bahwa agama Islam menghendaki kemudahan. Islam tidak memaksa manusia dengan hal-hal yang membuatnya merasa berat. 

Akan tetapi dalam kewajiban yang dilakukan terdapat rehat bagi jiwa, olahraga bagi jasad, dan juga tujuan sosial yang menyatukan kaum muslimin dan menguatkan barisan mereka hingga serasa memiliki hati yang sama dan setiap muslim merasa saling bersaudara walaupun tersebar di berbagai negara.



NB: terjemahan dari kitab silsilatul adab pada  bab “Adab dalam Bersuci ” dengan sub judul  “At-Tayammumu”


Surabaya, 9 Juni 2016