Mengenal Pengusung Rasionalisme, Empirisme, dan Kritisisme

-->

Oleh: Luqman Hakim



            Berbicara sejarah peradaban Barat, tidak dapat dipisahkan dengan aliran filsafat yang berkembang di sana. Di antara aliran filsafat yang terkenal sejak zaman modern (yaitu zaman yang dimulai sejak abad 16 M), ialah rasionalisme, empirisme, dan kritisisme. Ketiga aliran filsafat tersebut tentu saja tidak akan lahir tanpa ada pendiri ataupun pengusungnya. Tokoh Barat yang disebut-sebut sebagai pendiri ketiga paham tersebut ialah Rene Descartes, John Locke, dan Immanuel Kant. Di bawah ini penulis paparkan  ulasan singkat mengenai profil serta pemikiran ketiga tokoh tersebut disertai perbandingan pemikiran mereka dengan Islam.


Descartes dan Rasionalisme

Filsuf Barat bernama lengkap Rene Descartes ini dilahirkan di Prancis pada 1596 M. Ia mengambil bidang hukum di perguruan tinggi bernama Universitas Poitiers. Sebagai mahasiswa yang cerdas, Descartes merasa bahwa banyak argumen yang dikemukakan otoritas-otoritas yang dipelajarinya ternyata tidak valid, sehingga ia sering merasa tidak tahu apa yang harus dipercayainya. 


            Untuk menyelesaikan pendidikannya, katanya, ia bergabung dengan Angkatan Darat, berkelana ke seluruh Eropa sebagai prajuri; walaupun tidak pernah menyaksikan satu peperangan pun. Pengalaman selama petualangannya mengajarkan kepadanya bahwa dunia manusia jauh lebih beraneka ragam dan kontradiktif daripada dunia buku. Ia pun terobsesi oleh pertanyaan: adakah sesuatu yang dapat kita benar-benar yakini, yaitu sesuatu yang dapat kita dengan pasti.

            Tokoh Barat yang juga dikenal sebagai filsuf, matematikawan, dan ahli fisika ini kemudian menetap di Belanda. Di negeri yang memberi ruang paling besar dalam kebebasan berekspresi ini, Descartes mempelajari dasar-dasar pemikiran manusia melalui filsafat, matematika, dan sains. Selama kurang lebih dua puluh tahun, antara tahun 1629 M dan 1649 M, ia menghasilkan karya orisinil yang dinilai berkualitas tinggi. Dalam filsafat, ada dua karyanya yang sangat menonjol, yaitu Diskursus tentang metode (1637 M) dan Meditasi (1641 M). 

            Kemudian pada tahun 1649 M, Ratu Christina dari Swedia mengundangnya ke Stockholm untuk memberikan pelajaran filsafat. Iklim Swedia yang sangat dingin akhirnya menyebabkan Descartes terserang penyakit pneumonia hingga meninggal pada tahun 1650 M. 

            Adapun pemikirannya di dunia filsafat sehingga melahirka rasonalisme adalah ketika ia berkelana dalam dunia filsafat dan berakhir pada kesimpulan yang ia kemas dalam bahasa latin: Cogito ergo sum, “Aku berpikir, maka aku ada”. Dalam paham ini, terdapat keyakinan bahwa pengetahuan kita tentang dunia dapat diperoleh melalui penggunaan nalar. Sedangkan masukan indrawi tidak dapat diandalkan karena justru lebih cenderung menjadi sumber kekeliruan daripada sumber pengetahuan. 

            Bagi Descartes, manusia harus menjadi menjadi titik berangkat dari pemikiran yang rasional demi mencapai kebenaran yang pasti. Untuk mencapai kebenaran yang pasti itu, rasio harus berperan semaksimal mungkin.

            Descartes juga menyimpulkan bahwa manusia pada dasarnya adalah jiwa. Dari sana ia mengembangkan suatu pandangan tentang dunia sebagai sesuatu yang pada akhirnya hanya terdiri dari dua jenis substansi, yaitu jiwa dan materi. Ia memandang manusia sebagai subjek-subjek yang mengalami dunia, yakni dunia yang selain diri mereka sendiri terdiri dari objek-objek material yang mereka amati.

Sejak saat itu, rasionalisme kemudian menjadi salah satu tradisi yang hidup dalam filsafat Barat. Periode keemasannya meliputi abad 17 dan 18. Bahkan hingga saat ini, rasionalisme tidak pernah kehilangan pengaruhnya dalam pemikiran Barat. Selain Descartes, tokoh-tokoh aliran filsafat ini adalah Spinoza dan Leibniz.
           
Locke dengan Empirismenya

Tokoh pengusung aliran filsafat kedua bernama lengkap John Locke. Filsuf yang hidup antara tahun 1632 M sanpai 1704 M ini adalah anak seorang ahli hukum Inggris bagian Barat yang berpihak pada kubu parlementer untuk melawan Raja dalam Perang Saudara di Inggris. Pada tahun 1646 M, Locke dikirim ke Westmister, sekolah terbaik di Inggris saat itu. Kemudian ia melanjutkan studi ke Universitas Oxford, di mana ia berkenalan dengan filsafat baru dan sains baru. Ia lulus dana mendapat gelar dalam bidang kedokteran. Mulailah ia terlibat dalam jabatan publik sebagai anggota dewan.

Pada tahun 1667 M, ia tinggal bersama keluarga Earl of Shaftesbury, pemimpin oposisi kubu parlemen yang menentang Raja Charles II. Ia bekerja sebagai dokter pribadi sang Earl, namun praktis membantunya dalam perkara-perkara lain, terutama soal politik.

Selama empat tahun, dari  1675 M sampai 1679 M, Locke tinggal di Prancis. Di sana ia mempelajari karya-karya Descartes (pengusung aliran filsafat rasionalisme, sebagaimana dijelaskan di atas) dan mendapatkan kesempatan berjumpa dengan para filsuf besar pada zaman itu.

Pada tahun 1681 M, Earl of Shaftesbury diseret ke pengadilan dengan tuduhan penghianatan. Walaupun diputuskan tidak bersalah, ia akhirnya pergi meninggalkan Inggris karena khawatir akan keselamatan dirinya, lalu mnetap di Belanda. Situasi mulai membahayakan teman-temannya di Inggris, maka pada tahun 1683 M Locke ikut meninggalkan Inggris dan pindah ke Belanda. Di sanalah ia menulis mahakaryanya, Esai Mengenai Pemahaman Manusia (Essay Concerning Human Understanding), yang sudah mulai ditulisnya sejak 1671 M. Buku itu diterbitkan pada tahun 1689 M.

Di Belanda, Locke ikut serta dalam Dario, komplotan pelarian politik dari Inggris. Mereka berencana menunjuk seorang pangeran Belanda, William dari Oranye, untuk menduduki tahta Inggris. Locke menjadi salah seorang penasehat. Rencana mereka berhasil. Setelah Revolusi pada tahun 1688 M, yang menyebabkan Raja James II melarikan diri ke luar negeri, Locke ikut mengawal putri Oranye dalam perjalanan dari Belanda ke Inggris pada Februari 1689. Di Inggris sang putri menjadi Ratu Mary mendampingi suaminya, Raja William III. Pada tahun itu pula, Locke menerbitkan karya pertamanya dalam bidang politik, Sepucuk Surat tentang Toleransi. Lalu bermunculanlah buku-bukunya yang lain pada tahun-tahun berikutnya.

            Adapun pemikiran filsafat Locke, memiliki perbedaan dengan Descartes. Tidak seperti Descartes, Locke tidak percaya bahwa pengetahuan ilmiah tentang dunia dapat diturunkan melalui deduksi logika dari premis-premis yang tak dapat diragukan lagi, maka ia tidak percaya bahwa pengetahuan ilmiah itu memiliki kepastian sama seperti matematika. 

            Selain itu menurut Locke, pada awalnya rasio manusia harus dianggap ‘as a white paper dan seluruh isinya berasal dari pengalaman. Adapun yang kita alami secara langsung, adalah berbagai macam isi kesadaran kita-citra indrawi,pikiran, perasaan, ingatan, dan sebagainya, dalam jumlah yang luar biasa banyak. Berbagai macam isi kesadaran itu oleh Locke dinamai “ide-ide”, entah isi itu bersifat intelektual, indrawi, emosional, atau apapun. Yang dimaksud ide olehnya adalah segala sesuatu yang ada secara langsung dalam kesadaran kita. Mengenai pengetahuan kita tentang dunia luar, Locke berpendapat bahwa data mentah, masukan dasar, datang kepada kita melaui indra-indra kita. 

            Locke juga menekankan bahwa indra kita merupakan satu-satunya titik singgung langsung antara diri kita dan realitas di luar kita. Hanya melalui indra sajalah segala sesuatu yang dapat kita sadari dapat sampai kepada kita dari luar. Kita mampu melakukan nya dengan dasar materi yang tidak berasal dari masukan indrawi kita sendiri (atau orang lain), maka kita kehilangan satu-satunya kaitan kita dengan realitas eksternal. 

            Namun, Locke menyimpulkan bahwa pengertian kita mengenai apa yang benar-benar ada –dan karenanya pemahaman kita mengenai realitas dan mengenai dunia-pada akhirnya harus selalu berasal dari apa yang telah kita alami melalui indra, atau setidak-tidaknya, dibangun atas dasar unsur-unsur yang diturunkan dari pengalaman indrawi.
Inilah kesimpulan pokok dari empirisme yang diusung oleh Locke.

Kant dan Kritisismenya

Filsuf bernama lengkap Immanuel Kant ini lahir pada tahun 1724 M dan lahir di Konigsberg, sebuah kota kecil di prusia Timur. Dalam universitas di kota asalnya ia menekuni hampir semua mata pelajaran yang diberikan dan akhirnya menjadi professor di sana. Dalam bidang filsafat, kant dididik dlam suasana rasionalisme yang pada waktu itu merajalela di universitas-universitas Jerman. Kant tidak menikah dan selalu tertib, sehingga ia dapat mencurahkan seluruh waktu dan tenaga kepada karya-karya filosofisnya.

Reputasi Kant nyaris mirip dengan para akademisi papan atas lazimnya, yakni terkenal pada suatu saat, tapi tidak berlangsung langgeng. Tiba-tiba pada usia 57, setelah bungkam selama 10 tahun, kant menerbitkan salah satu buku terbaik sepanjang masa, Kritik Rasio Murni (1781 M), yang lalu diikuti dengan penerbitan Kritik Rasio Praktis pada tahun 1788, dan Kritik Penilaian pada yahun 1790 M.

Kritisisme Kant dapat dianggap sebagai suatu usaha raksasa untuk memperdamaikan rasionalisme yang diusung pertama kali oleh Rene Descartes dan empirisme oleh John Locke. Rasionalisme mementingkan unsur-unsur apriori dalam pengenalan, berarti unsure-unsur yang terlepas dari segala pengalaman (seperti misalnya “ide-ide bawaan” ala Descartes). Sedangkan empirisme menekankan unsur-unsur yang berasal dari pengalaman (mislanya Locke yang menganggap rasio “as a white paper”). Menurut Kant, baik rasionalisme maupun empirisme dua-duanya berat sebelah. Ia berusaha menjelaskan bahwa pengenalan manusia merupakan paduan atau sintesa antara unsur-unsur apriori dengan unsure-unsur aposteriori.

Refleksi: Perbandingan dengan Islam       

            Adapun dalam Islam, untuk memperoleh kebenaran,  manusia hendaknya menggunakan “perangkat” yang Tuhan telah sediakan, yaitu rasio (akal) dan wahyu. 

            Dalam Islam, rasio (akal) merupakan salah satu perangkat anugerah yang diberikan Allah kepada manusia. Menurut Syaikh Muhammad Abduh, anugerah (hidayah) yang diberikan oleh Allah kepada manusia meliputi: (a) Intuisi, (b) Indra dan perasaan, (c) akal/rasio, (d) Agama, dan (e) Taufiq atau ‘inayah.

Anugerah yang pertama dan kedua disamping dimiliki oleh manusia, juga dimiliki oleh hewan/binatang. Sedangkan hidayah akal, agama, dan taufiq hanya diberikan kepada manusia di antara makhluq-makhluq di dunia ini.

Petunjuk rasio (akal) yang dikhusukan kepada manusia itu mempunyai makna bahwa manusia yang diberikan tugas untuk memikul amanah sebagai pengatur kehidupandi atas dunia.

            Di dalam Al-Quran terdapat banyak ayat dalam bentuk yang bervariasi menyuruh manusia untuk menggunakan akalnya dengan baik, memikirkan alam di samping mengingat dan menyebut-nyebut Penciptanya, Allah SWT. Hal itu terdapat dalam surat Al-Hajj:46, Ali Imron:190-191, Ar-Rum:8, Al-Ankabut:43, Al-A’raf: 185, Qaf: 6-11, dan Fathir: 27-28.

            Adapun yang kedua adalah wahyu. Wahyu adalah kebenaran yang langsung disampaikan Tuhan kepada salah seorang hamba-Nya, yang dipilih-Nya, yang disebut Rasul atau Nabi. Dalam Islam, wahyu merupakan sesuatu yang mutlak diperlukan oleh manusia.

            Oleh karena itulah cara yang digunakan oleh Descartes, Locke, dan kant dalam memperoleh kebenaran berbeda dengan Islam. Dalam Islam, harus dilandaskan pada wahyu dan tidak boleh hanya mengandalkan rasio (akal), indrawi, ataupun keduanya.



Referensi:

1.      Magee, Bryan, 2008,  The Story of Philosophy, terj. Marcus Widodo dan Hardono Hadi, Yogyakarta: Kanisius
2.       Rapar, Jan Hendrik, 1996,  Pengantar  Filsafat,(Yogyakarta: Kanisius
3.      Bertens, K., 1975,  Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius
4.      Cawidu, Harifuddin dan Rasyidi, 1984,  Islam untuk Disiplin Ilmu Filsafat, Jakarta: Proyek Pembinaan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum



Ponorogo. 25 Desember 2011







2 Responses to "Mengenal Pengusung Rasionalisme, Empirisme, dan Kritisisme"

  1. Dua konsep rasionalisme yang berbeda


    Ilmu logika adalah ilmu untuk mencari bentuk kebenaran berdasar kepada tata cara berfikir sistematis-matematis yang murni yaitu tata cara berfikir yang tidak bergantung pada tangkapan langsung dunia panca indera.akal adalah alat berfikir yang memiliki karakter berfikir sistematis - matematis,sebab itu ada hubungan paralel antara akal dan ilmu logika artinya ilmu logika tidak akan pernah ada kalau manusia tidak memiliki akal.bentuk kebenaran yang bisa difahami oleh cara berfikir logika akal disebut sebagai ‘kebenaran rasional’.Tuhan menyuruh manusia menggunakan akal nya secara maksimal sehingga bila agama ditela'ah dengan logika murni maka kebenarannya akan terungkap secara konstruktif ( bisa di telusuri oleh cara berfikir akal yang tertata ).
    Tetapi dalam wacana filsafat - sains kini istilah 'akal','logika' dan 'rasional' selalu dikaitkan secara langsung dengan fakta - bukti empirik yang tertangkap mata sehingga yang 'rasional' makna pengertiannya bukan lagi tatacara berfikir yang murni sistematis tapi malah menjadi 'yang mata telanjang bisa menangkapnya secara langsung' (ini adalah penyelewengan terhadap konsep ilmu logika),sehingga yang tidak memiliki bukti empirik yang langsung tertangkap mata sering dikategorikan sebagai 'irrasional',sebagai contoh : konsep sorga dan neraka sering didefinisikan sebagai 'irrasional' hanya karena tidak bisa dibuktikan oleh bukti empirik yang tertangkap mata secara langsung.dan istilah 'akal' sering dipertentangkan dengan agama karena agama mendeskripsikan hal hal yang abstrak yang dianggap 'tidak masuk akal'
    Dan ini (pandangan yang datang dari dunia filsafat-sains itu) adalah penyimpangan terhadap konsep ilmu logika,sebab konsep ilmu logika adalah tatacara berfikir sistematis yang murni tidak bergantung sepenuhnya pada tangkapan dunia indera secara langsung. sebagai contoh : konsep sorga dan neraka adalah konsep yang rasional sebab keduanya bisa dihubungkan secara sistematis - mekanistis dengan keberadaan adanya kebaikan dan kejahatan didunia.dan coba kita pakai perbandingan terbalik : bila sorga dan neraka itu tidak ada maka si baik dan si jahat hidupnya sama sama hanya akan berakhir dikuburan (tanpa ada konsep balasan),dan bila demikian yang terjadi maka kehidupan akan menjadi GANJIL dalam arti tidak rasional atau tidak sistematis (akal hanya menerima hal hal yang bisa diterangkan secara sistematis).contoh lain : atheis sering memproklamirkan ideologinya berdasar prinsip 'rasional',padahal bila kita analisis : berpandangan atheistik sama dengan beranggapan bahwa segala keteraturan itu berasal dari 'kebetulan' padahal menurut logika akal segala keberaturan yang tertata secara sistematis itu hanya bisa berasal dari desainer dan mustahil datang dari kebetulan.sebab kebetulan mustahil melahirkan keteraturan,dan keteraturan mustahil lahir dari kebetulan (coba saja tantang seluruh saintis diseluruh dunia melakukan eksperimen : apakah dari kebetulan bisa melahirkan keteraturan ?).

    BalasHapus
  2. Agama berisi konsep rasional bila manusia tidak melekatkan olah fikir akalnya selalu secara langung dengan bukti dunia inderawi,atau tidak mengebiri akalnya dengan keterbatasan dunia indera nya.sebab indera adalah hamba atau pembantu akal dan bukan sebaliknya.tapi filosof - saintis atheistik materialistik menjadikan dunia indera dan ‘bukti empirik’ sebagai 'raja' dan 'ukuran kebenaran' sehingga yang tidak terbukti secara empirik sering ditolak sebagai kebenaran,(mereka tidak bisa berfikir murni sistematis karena selalu terhalang oleh tembok cara pandang materialistik).
    Jadi ada dua versi konsep ‘rasional’ : versi Tuhan/agama yang mendefinisikan pengertian ‘rasional’ sebagai sesuatu yang bisa difahami oleh tatacara berfikir yang murni sistematis tanpa ketergantungan mutlak kepada tangkapan dunia indera secara langsung,dan kedua : versi filsafat materialistik (kacamata sudut pandang filsafat yang bersandar pada prinsip bahwa yang ‘ada’/realitas adalah hanya segala suatu yang tertangkap mata) yang mendefinisikan istilah ‘rasional’ sebagai ‘kebenaran versi akal’ tapi selalu mensyaratkan secara mutlak pada keharusan bukti empirik atau pada bukti yang tertangkap mata secara langsung,sehingga sesuatu yang tidak memiliki atau tidak berdasar bukti yang tertangkap mata secara langsung sering langsung dianggap sebagai tidak rasional.
    Kaum materialist mengebiri kemampuan akal dengan menundukkan akal pada prinsip keharusan untuk tunduk secara mutlak pada tangkapan dunia indera yang langsung atau lebih mengutamakan input tangkapan dunia indera ketimbang murni berfikir sistematis (sehingga wilayah berfikir logika akal materialist sebenarnya hanya berputar putar diseputar wilayah pengalaman dunia indera-tidak bisa menjelajah dunia abstrak) padahal akal dikonsep oleh Tuhan untuk bisa berfikir luas termasuk menjelajah realitas atau hal hal yang bersifat abstrak sehingga konstruksi dari realitas (yang konkrit dan yang abstrak) bisa difahami secara menyeluruh.
    Cara berfikir filsafat materialistik sebenarnya sudah tidak lagi orientasi kepada cara berfikir sistematis (cara berfikir logika akal) karena sudah menghamba kepada dunia indera (akal diletakkan dibawah indera).tapi anehnya mereka suka menyebut diri sebagai ‘kaum rasionalist’ sedangkan para agamawan sering distigmakan sebagai kaum yang ‘irrasional’,padahal agama selalu menuntut cara berfikir logika murni yang tidak mutlak bergantung atau menghamba kepada tangkapan mata yang langsung sebab derajat akal lebih tinggi ketimbang dunia inderawi.
    Jadi agama di stigmakan sebagai ‘irrasional’ karena filosof-saintis materialistik melihat dan mengkajinya dengan menggunakan kacamata rasionalisme versi kaum materialist yaitu rasionalisme yang dibingkai oleh keharusan bukti yang tertangkap mata atau keharusan bukti empirik artinya bukan rasionalisme yang murni orientasi kepada tatacara berfikir sistematik sebagaimana yang dimaksud oleh kitab suci.
    Kesimpulannya : kita harus bisa membedakan secara signifikan definisi pengertian ‘rasional’ versi agama dengan ‘rasional’ versi sudut pandang materialist (yang lahir melalui wacana filsafat yang bersudut pandang materialistik) sebab itu adalah dua kubu pandangan yang amat jauh berbeda yang menghasilkan konsep kebenaran (rasional) yang berbeda.

    BalasHapus

Jangan lupa komen di sini ya :-)