Pentingnya Mengislamkan Ilmu Pengetahuan




  Oleh: Luqman Hakim
                                   

Judul : Krisis Epistemologi dan Islamisasi Ilmu


Penulis : Adnin Armas 

Penerbit : CIOS ISID, Ponorogo 

Cetakan : Pertama, Agustus 2007 

Tebal : 29+ xii halaman 



    Mengislamkan ilmu pengetahuan? Mungkin pertanyaan itu yang akan muncul ketika melihat judul di atas. Munculnya pertanyaan semacam itu adalah wajar, karena wacana ini memang belum lama didengungkan oleh beberapa pakar Islam seperti Prof. syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prof. Ismail Raji Al-Faruqi, dan lain-lain. Wacana itu timbul karena didapati kenyataan bahwa adanya westernisasi (pem-Baratan) ternyata membawa dampak yang tidak bisa dikatakan sepele, yaitu konsep ilmu menjadi rancu. Westernisasi telah menjadikan ilmu problematis. Sekalipun westernisasi telah menghasilkan ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, namun, tidak dapat dinafikan juga bahwa westernisasi ilmu telah menghasilkan ilmu yang telah merusak, khususnya spiritual kehidupan manusia. 

     Dalam buku berjudul “ Krisis Epistemologi dan Islamisasi ilmu” ini, Adnin Armas dengan rinci dan teliti memaparkan bahwasanya terdapat kerancuan (confusion) dalam konsep ilmu, jikalau epistemologi (cara memperoleh ilmu / sumber ilmu) Barat digunakan (h.1). Hal itu dikarenakan epistemologi Barat berangkat dari praduga-praduga, atau prasangka-prasangka, atau usaha-usaha skeptis (keraguan) tanpa didasarkan pada wahyu. Dengan begitu, ilmu pengetahuan Barat itu menghasilkan sains (ilmu pengetahuan) yang hampa akan nilai-nilai spiritual. Dan akhirnya, seperti disimpulkan Al-Attas, epistemologi Barat tidak dapat mencapai kebenaran (h.vii). 

    Wakil direktur Institut for the Study of Islamic Though and Civilization (INSIST) ini dengan piawai menjelaskan krisis epistemologi yang melanda Barat modern, yang dimulai sejak abab 16. Secara berurutan, pak Adnin menjelaskan sejarah pemikiran Barat modern yang menghasilkan epistemologi pengetahuan ala Barat. 

      Adalah Rene Descartes (1591-1650) yang disebut-sebut sebagai peletak dasar filsafat modern yang oleh para sejarawan Barat kemudian diberi gelar Bapak filsafat modern. Ia telah memformulasikan prinsip, aku berpikir, maka aku ada (cogito ergo sum). Dengan prinsip ini, Descartes telah menjadikan rasio sebagai satu-satunya kriteria (rasionalisme) untuk mengukur kebenaran. 

     Lalu muncul setelahnya David Hume (1711-1776) yang memiliki pendapat berbeda dengan Descartes. Hume menegaskan bahwa panca indera (penglihatan, pendengaran, dll) merupakan sumber ilmu (empirisme). Dari sini Hume kemudian menyimpulkan bahwa ilmu tidak mungkin dapat diraih (skeptisisme). 

     Berbeda dengan Hume, Immanuel Kant (1724-1804) berpendapat bahwa ilmu itu mungkin diraih (knowledge is possible). Akan tetapi, kant menyatakan bahwa metafisika (hal-hal ghaib) adalah tidak mungkin diraih, karena ia tidak berdasarkan panca indera. Kant kemudian menyimpulkan bahwa pernyataan-pernyataan metafisis (berhubungan dengan hal-hal ghaib) tidak memiliki nilai epistemologis. 

   Terpengaruh pemikiran kant, Hegel (m.1831) kemudian berpendapat bahwa pengetahuan adalah on-going process, di mana apa yang diketahui dan aku yang mengetahui terus berjembang. Pemikiran Hegel ini kemudian dikenal dengan filsafat dialektika Hegel.

Munculnya Paham Ateisme 

     Mendominasinya epistemologi sekuler dalam peradaban Barat pada zaman modern membawa dampak terhadap munculnya paham ateisme (paham yang tidak mempercayai Tuhan). Ludwig Feurbach (1804-1872), seorang teolog Kristen yang berguru pada Hegel, merupakan salah satu perintis paham anti Tuhan (ateisme) ini. Ia menegaskan prinsip filsafat bahwasanya yang paling tinggi adalah manusia, bukan Tuhan. Menurutnya, agama adalah mimpi akal manusia (religion is the dream of human mindi) (h.3). 

    Pemikiran Feurbach ini kemudian mempengaruhi Karl Max (m. 1883), seorang tokoh ateisme yang sangat terkenal. Ia menyatakan bahwa agama adalah candu rakyat. Baginya, agama hanyalah faktor sekunder, sedangkan faktor primernya adalah ekonomi. Selain itu, ia juga berpandangan bahwa agama adalah keluhan makhluk yang tertekan, perasaan dunia tanpa hati, sebagaimana ia adalah suatu roh zaman yang tanpa roh. 

     Pada perkembangannya, paham ateisme kemudian berpengaruh berbagai bidang disiplin keilmuan. Dalam bidang ilmu biologi misalnya, muncul nama Charles Darwin (m. 1882). Darwin berkesimpulan bahwa Tuhan tidak berperan dalam penciptaan. Menurutnya, asal mula spesies (origin of species) bukan berasal dari Tuhan, tetapi dari “adaptasi kepada lingkungan”. 

      Adapun masuknya paham ateisme dalam disiplin ilmu sosiologi, dimulai oleh Auguste Comte. Penemu istilah ‘sosiologi’ ini berpandangan bahwa kepercayaan kepada agama merupakan bentuk keterbelakangan masyarakat. Penolakannya kepada Tuhan kemudian diikuti oleh Emile Durkheim (m.1917) dan Herbert Spencer. Keduanya adalah ahli sosiologi dan antropologi. Spencer menegaskan bahwa adanya agama bermula dari mimpi manusia tentang adanya spirit di dunia lain (h.5). 

     Ilmu psikologi pun tak luput dari paham ateisme. Seorang psikolog terkemuka, Sigmun Freus (m.1939), menegaskan doktrin-doktrin agama adalah ilusi. Menurutnya, agama tidak sesuai realitas dunia dan tidak bisa menjadi jalan untuk membimbing ke arah ilmu pengetahuan. 

       Sementara itu dalam ilmu filsafat, kritik terhadap eksistensi Tuhan juga bergema lebih kuat. Friedrich Nietzche (1844-1900) misalnya, menyatakan bahwa Tuhan sudah mati. Dari situ, Nietzche pun berpandangan bahwa agama tidak bisa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan. Menurutnya, antara agama dan sains yang benar, tidak teradapat keterkaitan dan persahabatan. Bahkan, katanya, antara agama dan sains saling bermusuhan; dan keduanya menetap di bintang yang berbeda (h.6). 

Merasuk pada Teologi Kristen dan Yahudi 

   Setelah memaparkan secara kronologis terkait munculnya paham ateisme dalam epistemologi Barat, kandidat doktor bidang pemikiran Islam di ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization) Malaysia ini menerangkan bahwa epistemologi Barat modern telah mensekulerkan dan meliberalkan teologi Kristen dan Yahudi. 

     Dalam hal ini, pak Adnin menyebutkan beberapa nama teolog Kristen terkemuka di abad 20; seperti karl Barth, Woolwich, Harvey Cox, dan lain-lain. Mereka, kata pak Adnin, telah memodifikasi teologi Kristen supaya sesuai dengan peradaban Barat modern. Mereka menegaskan ajaran Kristiani harus disesuaikan dengan pandangan hidup sains modern yang sekuler. Dan pada akhirnya, sekularisasi dan Liberalisasi teologi dalam Kristen telah menyebabkan agama menjadi urusan pribadi dan menjadi pinggiran dalam arus peradaban Barat modern. 

Dari Modernisme menjadi Post-Modernisme 

    Pak Adnin lebih lanjut menjelaskan bahwa pada perkembangan selanjutnya, di Barat muncul reaksi terhadap filsafat Barat modern yang mengagungkan akal. Reaksi ini dikenal dengan filsafat post-modernisme (pasca-modernisme). 

    Secara ekstrim, filsafat baru ini menolak kemampuan akal untuk mengetahui kebenaran. Selain itu, filsafat ini bukan saja mengumandangkan kematian Tuhan (sebagaimana filsafat modern), tetapi sekaligus kematian manusia. Dari sinilah kemudian muncul paham skeptisisme (keraguan). Tokoh-tokoh yang berperan penting adalah Jacques Derida, Michel Foucalt, dan Richard Rorty.

Urgensi Islamisasi Ilmu 

    Setelah memaparkan secara kronlogis dan rinci mengenai westernisasi (pembaratan) ilmu, pak Adnin kemudian berkesimpulan bahwa westernisasi ilmu tidak hanya menceraikan hubungan harmonis antara manusia dan Tuhan, tapi juga telah melenyapkan wahyu sebagai sumber ilmu (h. 9). 

    Lalu, pak Adnin pun menyebutkan bahwa dahsyatnya dampak westernisasi ilmu yang telah menjadikan ilmu problematis, sangat mendesak sekali diberlakukan Islamisasi ilmu. Atau dengan kata lain, ilmu-ilmu pengetahuan yang telah terbaratkan perlu diislamkan. 

    Pak Adnin pun menyebutkan sejumlah tokoh intelektual muslim kontemporer yang telah mengemukakan gagasan pentingnya Islamisasi ilmu. Di antaranya adalah Ismail Raji al-Faruqi (1921), Syed Muhammad naquib Al-Attas (l.1931), Seyyed Kossen Nasr (1933), dan Ziauddin Sardar (l. 1951). 

       Secara lebih khusus, pak Adnin mengutip gagasan Al-Attas yang menyatakan bahwa ilmu yang berkembang di Barat tidak semestinya harus diterapkan di dunia muslim. Karena, ilmu-ilmu tersebut tidak dibangun di atas wahyu dan kepercayaan agama, melainkan hasil dari kebingungan dan skeptisisme. Westernisasi ilmu juga telah mengangkat keraguan dan dugaan ke tahap metodologi ilmiah; serta menjadikan keraguan sebagai alat epistemologi yang sah dalam keilmuan. Selain itu. Menurut Al-Attas, ilmu bisa dijadikan alat yang yang sangat halus dan tajam dalam menyebarluaskan cara dan pandangan hidup suatu kebudayaan. Sebab, ilmu bukan bebas nilai (value free), tetapi sarat nilai (value laden) (h.11-12). 

     Namun, lanjut Al-Attas, penolakan terhadap paradigma Barat tidak serta merta bermaksud menafikan juga persamaan yang terdapat antara epistemologi Barat dan Islam. Memang ada persamaan antara Islam dengan dengan filsafat dan sains modern menyangkut sumber dan metode ilmu, kesatuan cara mengetahui secara nalar dan empiris, kombinasi realisme, idealisme dan pragmatisme sebagai fondasi kognitif bagi filsafat sains; proses dan filsafat sains. Akan tetapi, terdapat sejumlah perbedaan mendasar dalam pandangan hidup (divergent worldviews) mengenai realitas akhir. Baginya, dalam Islam, wahyu merupakan sumber ilmu tentang realitas dan kebenaran akhir berkenaan dengan makhluk ciptaan dan pencipta (h.12). 

     Kemudian di bab terakhir, pak Adnin memberikan pemaparan adanya kritikan dari beberapa pemikir muslim kontemporer seperti Fazlur rahman, Muhsin Mahdi, Abdul Karim Soroush, dan Bassam Tibi berkaitan dengan gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan. Dalam tulisan ini, pak Adnin memaparkan satu-persatu pendapat mereka; dan kemudian pak Adnin menyanggah pendapat mereka dengan penjelasan yang lugas dan ilmiah. Terkadang, pak adnin membandingkan pandangan mereka dengan pendapat Al-Attas. 

      Salah satu contohnya, ketika Fazlur Rahman berpendapat bahwa ilmu tidak perlu mencapai tingkat finalitas atau keyakinan, pak Adnin menanggapi bahwa pemahaman seperti itu merupakan pemikiran sekuler. Pak Adnin pun membandingkan pendapat Fazlur rahman tersebut dengan pendapat Al-Attas yang membuat penegasan bahwasanya ilmu pengetahuan dalam hal-hal yang yakin, adalah final, tidak terbuka untuk direvisi oleh generasi kemudian, selain elaborasi dan aplikasi. Penafsiran baru hanya benar terkait dengan aspek-aspek ilmiah Al-Quran dan fenomena alam (h.19).

Ringkas dan Padat 

    Menurut peresensi, buku kecil pak Adnin ini telah memberikan informasi-informasi penting yang bagi masyarakat umum masih banyak yang belum mengetahuinya. Sehingga, pembaca akan menemukan hal-hal baru yang awalnya tidak terbesit dalam pikiran. Dengan sangat baik, pak Adnin telah membuat kronologi sejarah kerancuan epistemologi Barat modern yang menjadi penyebab utama diperlukannya islamisai ilmu, lalu dengan piawai menjelaskan banyak hal seputar Islamisasi ilmu. 

    Selain itu, buku ini ringkas dan hanya memuat informasi-informasi penting, sehingga pembaca tidak perlu banyak mengerutkan dahi serta tidak perlu menghabiskan waktu yang banyak untuk menyelesaikannya. 

      Namun alangkah lebih baiknya jika pada bab kedua, yaitu dalam pembahasan Islamisasi ilmu, penulis tidak hanya mencantumkan pendapat Al-Attas; tapi juga pendapat intelektual muslim yang lain seperti Al-Faruqi, Sayyed Hosen Nasr, dan lain-lain. Sehingga pembaca bisa mendapatkan pemaparan yang lebih luas tentang Islamisasi ilmu. 

       Walau bagaimanapun, hemat peresensi, buku ini telah menjadi rujukan penting serta memiliki kontribusi yang besar dalam menyelamatkan kaum muslimin dari hegemoni Barat, yaitu dengan memberikan pemahaman tentang pentingnya Islamisasi ilmu pengetahuan yang telah terbaratkan.



Ponorogo, 2 Desember 2011

0 Response to "Pentingnya Mengislamkan Ilmu Pengetahuan"

Posting Komentar

Jangan lupa komen di sini ya :-)