Meneropong Sejarah Keagamaan Perempuan di Amerika

 
 Oleh: Luqman Hakim

     





Judul                   : Women, Gender, and Religion in
                                the Early Americas

Pengarang           : Janet Moore Lindman

Penerbit               : Blackwell Publishing Ltd

Tahun terbit       : 2010






        Timbulnya gerakan feminisme di Barat menarik untuk dikaji. Gerakan ini lahir dari ketertindasan kaum perempuan di Barat yang masih terjadi sampai abad 19. Mereka menuntut kesetaraan gender, yang menurut mereka selama ini terdapat ketidakadilan. Uniknya, mereka menganggap penyebab ketertindasan mereka berasal dari konsep agama mereka sendiri yang patriarkis. Maka tidak mengherankan jika kaum feminis menjadi “penentang” utama ajaran agama mereka. Dan parahnya, gerakan ini kemudian “diekspor” ke dunia Timur, termasuk ke dunia Islam. Maka kemudian, banyak orang-orang Islam sendiri yang kemudian ikut-ikutan “menentang” ajaran agama Islam. Tentunya ini membahayakan. 

    Oleh karena itulah, penting kiranya kita mengetahui sejarah lahirnya gerakan feminism di Barat dan hal-hal lain yang berhubungan dengannya.
--> Dengan mengetahui seluk-beluk perjalanan gerakan ini, kita bisa mengetahui secara lebih luas tentang dunia feminisme, sehingga kita bisa merespon dengan baik isu-isu feminisme di dunia Islam.

    Untuk mengetahui banyak hal tentang dunia feminisme di Barat; kita bisa membaca karya-karya mereka yang telah dipublikasikan dalam bentuk makalah, jurnal, buku, skripsi, tesis, disertasi, atau karya ilmiah lainnya.



     Salah satu karya ilmiah yang membahas tentang seluk beluk dunia feminisme di Barat adalah karya Janet Moore Lindman yang berupa jurnal. Jurnal yang berjudul “Women, Gender, and Religion in the Early Americas” ini membahas tentang studi historis wanita dan agama di Amerika dari abad 16 sampai 19. 


Mulai mempertanyakan


     Dalam jurnal ini Janet, sang penulis menyoroti sejarah keagamaan wanita di Amerika di abad 16 sampai 19 yang dalam satu sisi, mereka menerima kepemimpinan religius kaum laki-laki, namun dalam sisi yang lain mereka mempertanyakannya.

    Janet mencontohkan sikap salah seorang perempuan Kristen yang taat beragama, yang bernama Anne Emlen. Pada musim dingin tahun 1781 M, ia menghadiri pertemuan di gereja yang dihadiri oleh banyak orang yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Dalam pertemuan tersebut yang diperbolehkan berbicara hanyalah kaum laki-laki, sedangkan kaum wanita tidak diperkenankan.

     Ketika pertemuan berakhir, Anne Emlen bertanya kepada pendeta, kenapa para perempuan muda yang telah ditempa dengan spirit keagamaan yang kuat tidak diperbolehkan berbicara pada pertemuan tersebut. Kemudin dijawab oleh pendeta tersebut bahwa wanita sudah ditetapkan untuk tidak boleh berbicara ketika pertemuan semacam itu.

     Dari cerita ini, penulis yang merupakan professor di Rowan University ini pun menyimpulkan bahwa sejak dulu kaum wanita yang sering menghadiri kegiatan ibadah, mendidik anak-anak mereka, mendonasikan (“menyedekahkan”) uangnya, menjaga perjalanan spiritual, menulis agenda-agenda keagamaan, melayanan masyarakat, telah meragukan hirarki dalam gereja, meragukan kepemipinan laki-laki, mengkritik kemampuan pendeta, mendesak untuk berkiprah di public, dan lain-lain.

       Dalam memaparkan penjelasannya tentang hasil studi sejarah keagamaan wanita di Amerika pada abad 16 sampai 19, Janet membagi wanita berdasar agama, yaitu wanita di Protestan, Katolik dan Yahudi. Selain pembagian berdasar agama tersebut, ia juga membagi berdasar ras, yaitu wanita Amerika-pribumi (suku Indian), wanita Amerika-Afrika (wanita kulit hitam), dan wanita campuran ras antara Amerika-Spanyol, Amerika-Prancis, dan Amerika-Inggris (wanita kulit putih). 


Terjadi Diskriminasi


     Sebenarnya, kata Janet, sejarah keagamaan wanita di Amerika –sebagaimana sejarah wanita pada umumnya- pada awalnya berpusat pada pengalaman wanita kulit putih. Lalu setelah diadakan penelitian pada tahun 1980-an dan 1990-an, bertambah meluas, tidak hanya untuk wanita dari kulit putih saja. Para sejarawan kemudian memandang sejarah keagamaan wanita dilihat dari aspek gender, ras, suku, kelas, dan wilayah. Makanya pada perkembangan selanjutnya, dalam buku-buku sejarah keagamaan wanita di Amerika tidak hanya ditemukan wanita kulit puti, namun juga terdapat wanita berkulit hitam (Amerika-Afrika) dan berkulit merah (Amerika-Pribumi)

       Janet juga menjelaskan, bahwa ketika sejarah wanita telah muncul sebagai salah satu disiplin keilmuan pada tahun 1970-an, nampak sekali bahwa para wanita tidak memiliki banyak kontribusi, baik dalam agama Kristen Protestan maupun Kristen Katolik. Yang banyak disebutkan dalam sejarah adalah peran para pendeta (yang berjenis kelamin laki-laki), sedangkan perempuan jarang disebutkan.

      Walaupun beberapa wanita telah seperti Ane Hutchinson dan Santa Rosa de Lima tercatat dalam buku sejarah, namun mereka tidak mempresentasikan pengalaman spiritual kaum wanita. Kisah yang diceritakan dalam sejarah keagamaan pun didominasi oleh bangunan institusi gereja, perselisihan teologi, dan kepemimpinan laki-laki. Selain itu, meskipun dalam beberapa institusi kehadiran kaum wanita diakui, namun partisipasi mereka jarang, bahkan tidak ada. Ini semua menunjukkan bahwa terjadi diskriminasi atas perempuan.


Mengadakan Perubahan


     Setelah sekian lama mengalami “penindasan” oleh kaum laki-laki, para wanita dari kalangan Kristen Protestan di Amerika melakukan perubahan di abad 19. Disebutkan, bahwa Chaterine Brekus telah mencatat lebih dari 100 wanita penginjil telah berkhutbah dari tahun 1740-an sampai 1840-an. (Catherine Brekus has recordedover 100 evangelical women who preached between the 1740s and the 1840s.hal.4). Banyak wanita dari kulit putih dan hitam berkeliling dalam rangka berkhotbah sambil memberikan prospek baru kepada audien terkait kepemimpinan dalam agama.

     Disebutkan ada seorang “penceramah” dari kulit putih bernama Catherine Van Wyck, yang dikenal sebagai pembicara berpengaruh. Adapun dari kalangan kulit hitam yang terkenal adalah Rebecca Jackson. Ia dikenal sebagai “penceramah” yang kharismatik (a charismatic preacher). Nama-nama lainnya adalah Susan Humes, Fanny Butterfield Newell, Jarena lee, Zilpha Elaw, dan lain-lain.

     Hal serupa juga terjadi pada wanita di kalangan Yahudi, Kristen Katolik, dan dari ras Amerika-Pribumi (yang kemudian pindah agama ke Kristen dan katolik). Dijelaskan, pada perkembangannya perempuan juga ikut terlibat dalam menyebarkan kebajikan, tidak hanya laki-laki. Hanya saja, mereka memiliki sejarah yang berbeda dengan wanita dari kalangan Kristen Protestan.

        Selain membicarakan tentang dinamika yang terjadi di beberapa agama tersebut, Janet juga menyinggung anggota perempuan dari kelompok Kristen Protestan radikal, seperti Quaker, Shakers, dan Moravians. Dijelaskan bahwa perempuan dari kelompok ini juga ikut andil dalam mempromosikan ideologi jender, namun dengan jalan yang berbeda.

     Sebutlah misalnya, salah satu pimpinan “kelompok/sekte” tersebut, yaitu Ann Lee. Ia telah memakai jubah kependetaan dan mengembangkan sebuah teologi yang melegimitasi peran spiritual mereka melalui penyusunan kembali ideology jender. Teologi tersebut didasarkan pada Trinitas Feminis (Feminized Trinity), di mana Tuhan mereka, Yesus, memiliki sifat keibuan dan sifat erotis. Dan, Ann Lee mengaku sebagai perwujudan dari Yesus yang berjenis kelamin perempuan. Salah satu ajaranyya adalah menganjurkan para pengikutnya agar membujang dan tidak melakukan hubungan seksual.

      Di akhir tulisannya Jane menegaskan bahwa studi wanita, jender, dan agama yang merupakan salah satu studi keagamaan hendaknya tetap menjaga “kemultidimensionalan” jender dan agama agar berada dalam garis terdepan dalam studi ini. (we need tokeep the ‘multidimensionality’ of gender and religion at the forefront of this study.hal. 7).

     Selain itu, ia juga berharap agar para sejarawan mengikuti jejak Anne Emlen (sebagaimana telah ditulis di awal tulisan) yang terus bertanya tentang status dan pengalaman merempuan dalam sejarah keagamaan Amerika Utara dan Selatan. 


Penting Dibaca


      Jurnal yang ditulis oleh Profesor Janet Moore Lindman ini memiliki nilai ilmiah dan bobot yang tinggi. Bayangkan, tulisan yang hanya sepanjang 27.511 karakter (7 halaman) ini memiliki referensi (daftar pustaka) sebanyak 134 buah. Di dalamnya banyak berisi data dan fakta yang tidak diragukan otentisitasnya. Ini merupakan salah satu keseriusan penulis untuk menghasilkan tulisan berkualitas.

        Namun, pembaca akan menemukan kesulitan dalam menemukan alur pembacaan karena penulis tidak memberikan sub judul pada tulisan. Hanya saja, penulis memberikan alur yang enak diikuti sehingga membantu memudahkan pembaca untuk memahami.

     Jurnal ini sangat bermanfaat, karena menyajikan data-data akurat. Oleh karenanya, tulisan ini penting dibaca terutama bagi peminat sejarah serta orang-orang yang ingin tahu lebih banyak tentang dinamika feminisme di Barat.   Khususnya untuk kaum muslimin, jurnal ini memberikan banyak informasi yang akan menjadikan mereka mawas diri, untuk tidak menerima semua apa yang datang dari Barat.




Ponorogo, 11 November 2011

0 Response to "Meneropong Sejarah Keagamaan Perempuan di Amerika"

Posting Komentar

Jangan lupa komen di sini ya :-)